Selamat malaaammm, yuhuuu mamak semok update. Aslinya ini cerita update setelah Dean Gitu update, tapi mood lagi mengarah ke sini, ya udin semedi 2 jam eh kelar. Besok ketik Dean Gitu ya, sabar he he he.
Nyak kasih lagu temen mbaca ya, semoga suka.
♧♧
Alanza tengah memperhatikan ponsel di tangannya ketika ia mendengar sedikit kegaduhan di dekatnya. Tapi, ketika menoleh, ia tak mendengar perkataan pengunjung lain yang memicu keributan. Ia bangkit dan keluar dari cafe, mengedarkan pandangannya dan menajamkan telinganya. Ia begerak ke samping kanan, pada lorong di sela bangunan, di sana di ujung gang ada beberapa orang dan mendengar teriakan, beberapa orang itu terlihat kaget dengan panggilan Alanza.
Ia sempat memotret salah satu orang yang telah meninggalkan wanita di atas tanah berpaving dengan keadaan terluka. Ia segera menelepon rumah sakit memintanya segera datang, karena wanita yang tersungkur tak bergerak lagi. Teriakan Alanza malam itu memanggil siapapun yang peduli untuk menolongnya, juga takut jika dirinya dituduh pelakunya. Ia mendadak jadi saksi malam itu ketika petugas polisi datang setelah ambulans tiba.
Alanza mengatakan apapapun yang diketahuinya, tapi merasa kesulitan ketika menyebutkan secara rinci siapa yang telah melukai isteri seorang pemilik pabrik tekstil. Alanza hanya bisa menunjukkan hasil jepretan kamera ponselnya, tak banyak membantu karena hasilnya buram, meski pada akhirnya para petugas menerka jika itu adalah foto seorang wanita. Tapi, siapapun itu tak bisa segera ditentukan, harus memeriksa orang-orang di sekitar korban dan kamera CCTV, sayangnya, belakang bangunan itu tak dipasang kamera pengawas.
Alanza hanya menghadiri pemakaman isteri pemilik pabrik tekstil-yang diduga korban perampokan-dari kejauhan. Karena ada banyak ratusan orang memadati pemakaman siang yang mendung itu, ia hanya bisa bertemu orang yang ditunjuk sebagai wakilnya di kantor polisi karena suami korban masih terpukul, begitu juga dengan puteri tunggal mereka. Alanza lantas kembali pulang, melepas gaun hitamnya dan menaruh topi warna senada di rak, menyalakan perapian kecil di ruang tengah yang ia bangun beberapa waktu lalu.
Ia menuang sereal di mangkuk dan menuang susu cair segar dan dingin. Hujan datang perlahan, kemudian mengetuk-ketuk jendela kaca di dapur. Ia masih duduk di sana, sampai kayu balok di perapian berkurang separuh. Ia menginginkan kopi yang panas, di cuaca yang lembab seperti ini cocok sekali bukan? Ponsel di atas meja dapur bergetar ketika ia hampir mendekati kamar. Ia pun berbalik dan mendapati pesan dari Alfian.
Alfian
Bisakah kau datang ke Bonita sekarang? Aku ingin bicara penting.
Alanza langsung menelepon Alfian, tetapi tak diangkat sampai operator bicara. Maka, ia pun segera mengirim pesan jika ia akan datang ke sana saat ini juga. Alanza menyambar mantel cokelatnya dan memesan taksi, karena tak masuk akal jika ia pergi keluar dengan cuaca hujan seperti ini. Alanza bergerak sedikit gelisah ketika menunggu taksi datang, dan secepat kilat masuk saat tiba.
Jalanan selalu ramai, meski selepas jam makan siang sekalipun. Alanza harus meminta sopir taksi untuk mengantarnya secepat yang ia bisa, tapi memang ia harus bersabar saat ini. Di cafe, Alfian tengah menyusun kata, memilih dan mengurangi kesalahan kata agar Alanza tak sampai menamparnya nanti.
"Lama sekali?" tanya wanita yang berambut pendek pada Alfian.
"Tunggulah di sana, kita pasti akan pergi, Rahma." Alfian menyuruh wanita itu kembali ke lantai dua Bonita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Whiffler [END]
Romance21+ | Update Sebisanya | Terhubung dengan Equanimous #3 "If distance is what I have to overcome to be with you, then give me a map. I am going to find you." Erchilla hanyalah gadis kecil yang berpikir sederhana, polos dna ceria. Tetapi, di balik kec...