2. Cantik itu luka?

1.9K 306 15
                                    

Bukan suatu kesalahan jika terlahir cantik, kan?

Tidak tahu.

Sampai saat ini pertanyaan itu selalu jadi pertanyaan yang belum bisa ia jawab. Sebab apa?

Ketika ia menjawab bukan suatu kesalahan, pada kenyataannya berbanding terbalik dengan jawaban itu sendiri. Rasanya ingin tertawa, tapi sulit. Kala mengingat entah sudah ribuan kali mendengar cibiran sampah perihal dirinya. Sebab ternyata, hal itu terlampau melukai si gadis Choi. Namun, ketika ia menjawab suatu kesalahan, ada yang lebih terluka ketika mendengar pernyataan itu. Bukankan menyedihkan ketika seorang ibu telah mengandung selama sembilan bulan dan pada kenyataannya, sang anak bahkan tidak bahagia apalagi mensyukuri dengan apa yang melekat padanya. Paras yang cantik luar biasa, perawakan sempurna bak model itu wajarnya bukan sebuah kesalahan.

Maka, pertanyaan itu akan selalu jadi sebuah pertanyaan yang sampai saat ini tidak akan pernah ia jawab. Di depan siapapun.

Sebab apa?

Kedua jawaban itu terlampau menyakitkan. Membuat sebuah luka ketika di ucap.

Anak rambut bergerak main-main menggelitik ketika angin menyentuh dirinya yang terduduk di sebuah bangku taman tepat di bawah pohon maple di samping lapangan fakultasnya. Berbekal earphone tanpa suara juga satu kotak makanan berwarna khaki yang pagi tadi dibuat oleh sang ibu. Sesekali menatap ke lapangan, terasa ramai namun tetap sepi untuk dirinya di siang hari yang terik begini.

Ngomong-ngomong, perihal earphone tanpa suara. Mau tahu kenapa?

Padahal wajarnya, ketika sepasang earphone terlihat menempel, berarti ia lebih nyaman dengan suara yang di dalam sana, ketimbang yang lain. Namun pada kenyataannya, meski tidak bisa dan tidak biasa—ada di dalam kerumunan disana, bercanda dengan suara tawa yang terdengar begitu renyah, menyenangkan entah apapun yang dibicarakan—, setidaknya ia bisa mendengar, membayangkan ada di tengah-tengah mereka di sana yang pada akhirnya hanya bisa mengulum senyum diam-diam dari jauh.

Memilih menjauh dari kerumunan karena ya, tahu sendiri nantinya akan bagaimana ketika dirinya ada disana. Tubuhnya perlu energi untuk mejalani kewajibannya sebagai mahasiswa dengan tetap diisi makanan, barang satu helai roti tanpa selai yang selalu menjadi kesukaannya karena tawar.

Lagi-lagi tersenyum tipis sembari mengikat ulang surai kelamnya yang tergulung dalam sebuah ikatan yang mulai melonggar, ketika mengingat kondisi kehidupan kampusnya yang semakin memburuk, harusnya ia bisa tetap bertahan sampai akhir meski sudah satu semester lebih tidak ada yang berubah perihal mereka-mereka yang entah kenapa semakin menjadi untuk mencibir dirinya ketika tahu kalau sekarang ia resmi menjadi anggota theater.

Sekalipun belum pernah secara langsung berkumpul, bertemu pandang dengan seluruh anggota, cibiran itu tetap ada.

Seperti tadi pagi, entah mereka itu cenayang atau semacamnya, pasti selalu ada kabar perihal apa yang dia lakukan dan berakhir menjadi cibiran sampah memuakkan.

Ha? Theater? Tidak salah. Wah, bukankan dia itu bisu? Lihat wajahnya! Membosankan layaknya batu hitam yang teronggok menyedihkan di jalanan.

Dan yang kudengar, tidak ada audisi untuk si anak haram itu. Apa ini awal mula kehancuran theater fakultas kita?

Apa dia menggoda Taehyung sunbaenim agar bisa masuk tanpa audisi? Gila. Sekali jalang ya tetap jalang. Darah jalang dari ibunya jelas mengalir dalam tubuhnya mengingat kelakuannya pada Taehyung sunbaenim.

Wah, dia tau jelas ya mana lelaki yang menguntungkan untuk dirinya. Coba kalau didekati anak lelaki di kelas? Dia jual mahal setinggi langit, padahal dia seharusnya murah layaknya jalang pinggiran.

SUGARPLUM |TAETZU|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang