Chapter 3

28 12 1
                                    

Aku berdiri sendiri menghadapi masalah, seolah semua ini hanya cobaan yang harus aku jalani. Namun ternyata ini adalah sebuah kenyataan yang pahit dalam hidupku.

_Nadine_

Setelah bersiap pergi ke sekolah, Nadine memeluk Mamanya terlebih dahulu agar nanti dia tidak merindukannya. Tidak iri melihat temannya yang masih mempunyai keluarga utuh. Setidaknya pelukannya mampu mengobati rasa sakit yang Nadine rasakan.

Seperti biasanya Vera sudah ada di depan rumah Nadine untuk menjemputnya. Nadine tersenyum lalu menghampirinya.

"Sudah sehat?" Tanya Nadine memastikan kondisi Vera.

"I'm fine." Jawab Vera lantang

Nadine mengangguk, lalu Vera menancap gasnya untuk pergi ke sekolah. Baginya Vera bukan hanya sebuah sahabat tetapi sudah lebih dari itu. Entah bagaimana cara Nadine membalas semua kebaikan Vera.

Sampai di sekolah seperti biasanya Vera sudah di sambut oleh Anjas lelaki doyan perempuan. Nadine melihat tidak suka ke arah Anjas lalu pergi meninggalkan mereka berdua.

"Kenapa Nad?" Tanya Riyan seketika melihat wajah Nadine yang masam.

Nadine hanya menggeleng, dia tidak mau bicara dengan Riyan untuk saat ini. Entah apa penyebabnya Nadine tidak tau.

"Nadine, maaf!" Ucap Vera ketika sudah berada di kelas dengan Nadine.

"Tidak apa-apa."

"Eh Nad, kita udah kelas 2 kan ya? Lo sebentar lagi lanjut ke Universitas mana? Ya gue tau seharusnya gue bicarain ini kalau kita udah kelas 3. Tapi gue tetep mau satu universitas sama lo Nad, jadi gue mau belajar lo kan pandai."

Seketika bunga sakura berguguran dalam hati Nadine, sesak membuat nafas Nadine tersenggal. Melanjutkan kuliah dengan keadaan Mamanya seperti itu? Dapat dari mana uang?

"Kehidupan itu pahit Ver, sama seperti kehidupan yang gue jalani saat ini. Ternyata doa saja tak mampu penuhi semua, dan itu sudah terbukti bagi gue. Satu saja kenginginan gue atau sebut saja cita-cita gue, gue ingin seperti mereka walau tak sepenuhnya sama. Doa juga sudah mengiringi keinginan itu, tapi Tuhan berkehendak lain. Dia tak izinkan gue seperti apa yang gue mau! Ketiadaan yang mencekik leher keluarga gue. Sekarang saja keluarga gue sudah bekerja banting tulang untuk pendidikan gue di SMA. Apalagi nanti? Jika gue melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi? Apa gue sanggup melihat tetes keringat dari keluarga gue? Tidak Ver. Gue tidak akan sanggup melihat mama lebih berjuang lagi untuk pendidikan gue! Entah bagaimana nanti, doakan saja! gue tidak tahu. Biarkan bagaimana Tuhan mengatur hidup gue ."

"Nad.."

"Ver, sekarang keadaan sudah berbeda!"

Riyan tidak sengaja mendengar pembicaraan dua orang sahabat itu. Nasib Nadine memang sangat menyedihkan, Riyan bisa lihat itu semua dari pandangan keputusasaan dari mata Nadine. Seorang gadis yang ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi namun tercekik biaya karena orang tuanya berpisah.

Mungkin Ayah Nadine sedikit masih peduli kepada Nadine, tapi Nadine menutup seluruh pintu maafnya untuk lelaki itu. Pengkhianatan yang Ayahnya lakukan terhadap Mamanya tidak bisa ia maafkan. Rasa sakit yang membelenggu hatinya tidak bisa di sembuhkan walaupun beribu kata maafpun.

"Nadine."

Nadine menoleh ke arah Riyan sekilas, menampilkan senyum yang paling indah yang pernah Riyan lihat seolah tidak ada beban di dalam pikirannya. Padahal apa yang di tanggungnya sekarang sangat sulit.

"Ver, gue pinjem Nadine."

Vera mengangguk tanda mengijinkan, hari ini Riyan akan melihatkan kepada Nadine betapa beruntungnya kehidupannya saat ini. Riyan akan mengajak Nadine bolos sekolah meskipun itu bukan sama sekali kebiasaan Riyan.

"Kita keluar sekolah, kali ini saja Nad."

"Tapi Yan,"

Riyan menarik tangan Nadine dan Nadine harus terpaksa berdiri lalu meninggalkan kelas sekaligus sekolahnya. Riyan terus saja menyetir sepeda motornya tanpa Nadine tau mereka sebenarnya mau kemana.

Riyan berhenti di antara jembatan yang sangat kumuh, jembatan yang di kolongnya banyak sekali manusia berserakan. Nadine menangis melihat pemandangan itu. Dia tau maksud Riyan namun dia mencoba menahan air matanya agar Riyan tidak lebih jauh melihat titik terlemahnya.

"Lo lihat anak itu? Dia tinggal di balik kerdus yang akan luluh lantah ketika hujan turun Nad, ketika kemarau datang kerdus itu tidak mampu melindungi mereka dari terik matahari. Dan lo lihat anak perempuan itu? Mereka hanya bermain Nad, mereka tidak tau aksara, mereka ingin sekolah namun tak bisa. Mereka ingin merasakan duduk di bangku sekolah lalu mengerjakan tugas sekolah namun mereka tidak bisa. Ada yang hidup sendiri, ada yang egois dan lain sebagainya. Seharusnya lo bersyukur Nad, kalaupun nantinya lo tidak bisa lanjut ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Lo lihat menteri perikanan Indonesia dia tidak Kuliah tapi dia bisa jadi Menteri. Hidup hanya tentang siapa yang tak akan menyerah, maka dialah yang beruntung Nad."

Nadine tersenyum miris, ternyata banyak yang lebih menderita daripada dirinya. Dia hanya mendapat sepercik cobaan Tuhan. Bukan seperti orang lainya. Ada banyak anak kecil di situ yang tidak merasakan kebahagiaan bahkan untuk membayangkan mereka mungkin tidak mampu.

Tak terasa air mata Nadine mengalir, hidupnya sudah jauh lebih dari kata beruntung. Namun, dia selalu mengeluh perihal kehidupannya.

"Nadine, berjanjilah lo tidak akan menyalahkan keadaan lagi?"

Nadine menoleh kepada Riyan, kenapa sifat Riyan semakin berlebihan. Seakan ingin mendekatinya namun itu tidak mungkin Riyan juga sudah berjanji mereka hanya akan menjadi teman tidak akan pernah lebih dari itu.

Nadine mengagguk, menuruti keinginan Riyan. Riyan tersenyum bahagia. Ini kali pertama dia bisa sedekat ini dengan Nadine, wanita yang selalu dia cintai secara diam-diam. Bukan Riyan tidak mampu mengungkapkan semuanya tapi Riyan tau jika masa lalu Nadine yang kelam menutup seluruh hati ataupun matanya tentang lelaki.

"Nad, kita cari hiburan yuk?"

"Kemana?"

"Ke Dufan?"

"Ide yang bagus."

Riyan merangkul pundak Nadine namun Nadine tak bereaksi sedikitpun seperti berjalan layaknya dengan teman. Namun demi apapun, jantung Riyan sudah mau keluar dari tempatnya. Riyan sangat berharap jika Nadine tidak mendengar detak jantungnya.

Ini kedua kalinya Nadine menginjakkan kakinya di Dufan. Pertama dia ke Dufan bersama keluarga lengkap masih ada Ayahnya, dan masih keluarga yang sangat bahagia. Saat itu umur Nadine masih 7 tahun.

"Lo tau tidak Nad?"

Nadine menoleh ke arah Riyan, tidak mengerti akan kemana arah bicara Riyan.

"Dulu, gue ingin sekali menginjakkan kaki di Dufan bersama perempuan yang gue cintai."

"Yan, kita hanya sebatas teman."

"Gue tidak bilang, perempuan itu lo Nad."

Nadine tertawa lalu mencubit lengan Riyan.

"Jangan GR Nad!"

"Siapa yang GR?"

"Lo!"

"Enak aja."

Perdebatan berhenti saat Riyan pergi meninggalkan Nadine di tempat. Riyan membeli dua balon lalu di berikan kepada Nadine.

"Ungkapin semuanya, lalu terbangkan balon ini."

Nadine memegang balon itu, dia mengungkapkan semuanya. Bukan dia berharap pada balon namun dia ingin semua bebannya berkurang.

Tuhan, jika engkau mempunyai rencana yang indah untuk hidupku.. maka aku akan berterimakasih padamu.
Aku tau setiap cobaanmu adalah bentuk kasih sayangmu padaku.. maka tolong beri aku kekuatan atas segala cobaan yang engkau berikan.

Nadine membuka matanya lalu menerbangkan balon itu, tawa lepas kini terpancar dari wajah Nadine. Riyan sangat beruntung karena dia orang pertama yang melihat tawa lepas dari Nadine.

I Found a Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang