Chapter 4

24 10 0
                                    

Entah apa yang mengganjal dalam hatiku, atau mungkin dia sudah berhasil meluluhkannya?

_Nadine_

Pagi ini udara sangat segar, hati Nadine juga tenang dan damai. Seandainya Mamanya normal seperti ibu-ibu yang lainnya, pasti setiap kali bangun pagi selalu ada susu di atas meja kamarnya atau paling tidak sapaan manis dari Mamanya. Namun andai hanya andai.

Nadine memudarkan lamunannya sendiri, membuayarkan setiap angan indah yang dia ciptakan sendiri. Bagaimanapun keadaannya ini adalah kenyataan yang sesungguhnya.

"Non, sama Mama di suruh makan." Ucap Bi Aminah pembantu rumah tangga sekaligus yang merawat Nadine sejak kecil.

Telinga Nadine tidak salah dengar? Mamanya menyuruh makan? Sejak kapan Mamanya mau membuka suara lagi semenjak kejadian itu. Apa pendengaran Nadine sudah mulai terganggu?

"Bi, Mama?"

Bi Aminah mengangguk dia tau Nadine sulit mempercayai ini. Ini seakan mustahil bagi Nadine.

"Bi, telinga Nadine?"

"Tidak non, nyonya sudah seperti dulu."

Tanpa basa-basi Nadine langsung berlari menuruni tangga dengan semangat. Mamanya kembali lagi, dia mempunyai Mama yang seperti lainnya lagi. Setelah sampai di tangga Nadine berjalan perlahan dia benar-benar tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Mamanya menunggunya di meja makan.

"Mama." Teriak Nadine dari tangga lalu berhambur memeluk Mamanya.

"Nadine."

"Berjanjilah untuk tetap seperti ini." Nadine meneteskan butiran bening yang tadi sempat menggantung di pupil matanya.

"Nadine, makan dulu."

Nadine mengangguk, dia masih menatap mamanya tak percaya. Bagaimana mamanya bisa bangkit seperti ini.

"Mama tau apa yang ada di benak kamu. Mama tau bagaimana rasanya menjadi kamu saat mama sakit."

Nadine menatap mamanya lekat-lekat tidak sabar menunggu kata selanjutnya, karena sudah sekian lama mamanya tidak pernah mengeluarkan sepatah kata untuk bicara dengan Nadine.

"Nadine, lanjut nanti pulang sekolah mama akan cerita sekaligus menjemput kamu."

Nadine mengangguk dengan antusias, kebahagiaan yang Tuhan berikan saat ini jauh membuat Nadine sangat beruntung. Karena apa yang selama ini dia alami membuat dia sadar bahwa tidak ada yang tidak mungkin selama kita berdoa.

Setelah bersiap pergi ke Sekolah, Nadine menghampiri mamanya di kamar, namun tidak dia temui. Nadine lupa jika mamanya sudah sembuh, dia mencari ke taman belakang ternyata mamanya sedang menyirami bunga.

"Ma, Nadine sekolah dulu."

"Hati-hati di jalan! Nak, dengerin mama. Nadine, tidak semua orang yang kita percaya nanti akan mengkhianati kita."

Nadine mengerutkan keningnya tidak mengerti kenapa mamanya bicara seperti itu.

"Berangkatlah!" Dengan mencium kening Nadine.

Nadine mengangguk lalu mencium punggung tangan Mamanya. Setelah di jalan, dia menunggu angkotan umum, biasanya Vera selalu menjemputnya tetapi karena sekarang Vera sedang menyiapkan kejutan untuk Anjas jadi dia tidak bisa menjemput Nadine.

Nadine melirik jam tangannya, kurang 15 menit lagi bel akan di bunyikan, gerbang juga akan di tutup dan Nadine akan di hukum. Selama dirinya sekolah dia tidak pernah di hukum baginya itu hal paling mengerikan semasa sekolah, itulah kenapa Nadine selalu menghindari hukuman.

Terlihat mobil sport warna merah dari kejauhan melaju dengan pelan lalu menghampiri Nadine. Sebenarnya Nadine tau siapa pemilik mobil itu, karena hanya dia yang kaya di sekolahannya.

"Nadine naik." Ucap Riyan.

Dugaan Nadine memang tidak pernah salah, ya perempuan memang selalu benar. Nadine hanya melihat sekilas ke arah Riyan. Cara Riyan memperlakukan Nadine sudah membuat Nadine mengerti jika Riyan berusaha mendekatinya.

"Nadine, telinga lo hilang?"

Nadine tetap mengabaikan Riyan, dia tidak peduli dengan apa yang Riyan katakan.

"Nadine, naik atau telat? 7 menit lagi masuk, dan gue gak akan membuang waktu hanya untuk menunggu wanita yang sok jual mahal seperti lo."

Kenapa hari ini begitu banyak yang meyakinkan Nadine jika telinganya memang tidak beres. Riyan bicara seperti itu kepadanya? Riyan seorang yang biasanya lemah lembut kini bicara kasar kepadanya.

"Nadine, kita hanya teman!" Tegas Riyan lantang.

Akhirnya Nadine tersenyum lalu naik ke mobil Riyan. Riyan menghembuskan nafas lega, ini yang kedua kalinya dia bisa dekat dengan Nadine. Lagian apa yang di katakanya tadi tidak benar. Dia tetap akan menunggu Nadine walau nanti dia akan telat dia tidak peduli.

Dalam perjalanan menuju ke sekolah mereka berdua hening, baik Riyan maupun Nadine tidak ada yang membuka suara. Sampai akhirnya Nadine yang membuka suara.

"Kenapa sih lo baik banget?"

"Karena gue tau, gue gak salah baik sama orang."

"Maksud lo?"

"Kita hidup ini memang untuk baik kesetiap orang. Apalagi lo udah jadi teman gue."

Nadine mengerutkan keningnya, tidak mengerti apa Riyan katakan.

"Kenapa lo sulit percaya?"

"Gue pernah percaya bahkan sama orang yang gue yakinin dia gak akan ngecewain gue. Tapi nyatanya dia pergi dari kehidupan gue dan membuat mama hancur."

"Jadi karena Papa lo, lo jadi benci ke semua lelaki?"

"Bukan karena Papa, gue juga gak benci sama papa. Tapi gue benci cinta, gue benci cinta karena sudah memisahkan papa dan mama. Gue benci cinta karena sudah menghancurkan hidup gue dan membuat wanita menjadi bodoh."

Riyan tertawa simpul, "benarkah? Bukan cinta yang salah tapi yang menjalaninya. Lo gak bisa benci cinta karena cepat atau lambat lo akan merasakannya."

Nadine tersenyum sinis lalu mengabaikan topik pembicaraan mereka berdua. Sampai di parkiran sekolah Nadine mengucapkan terimakasih kepada Riyan lalu pergi meninggalkan Riyan begitu saja.

Tidak habis fikir apa yang sebenernya terjadi sama hatinya, kenapa perasaan nyaman mulai ada dalam hatinya saat dia bicara dengan Riyan. Perasaan teduh dan damai seolah tidak ada yang mengguncang batinnya setiap dia membahas kejadian masalalu itu. Biasanya Nadine selalu menangis jika ada yang menanyakan tentang itu tapi kini bahkan dia bisa menceritkan dengan tenang kepada Riyan.

"Hey, bengong aja." Ucap Vera.

Nadine tersenyum dia masih bingung dengan hati dan perasaannya.

"Nad, lo kenapa?"

"Gak, gakpapa. Gimana kejutannya?"

"Anjas gak sekolah dia sakit."

Seketika itu rasanya Nadine tertimpa banyak uang dari langit sangat bahagia. Nadine tertawa terbahak-bahak melihat derita sahabatnya.

"Ih lo jahat." Protes Vera tidak terima.

"Ih apaan? Lo yang ngabaikan gue, kenapa gue yang jahat?"

"Pulang sekolah ikut gue ya ke rumah kak Anjas."

"Gue di jemput Mama." Senyum Nadine kembali mengembang.

"Mama lo udah sembuh? Tante gue udah sembuh Nad ?"

Nadine mengangguk,

"Ya Tuhan, gue seneng banget. Kalau gitu gue ikut nanti ya."

"Boleh. Tapi bayarin bensin mobil mama gue."

"Nadine!!" Teriak Vera.

Nadine hanya tertawa melihat tingkah sahabatnya. Bukan tentang siapa yang ada saat kamu butuh tapi tentang siapa yang ikut bahagia di saat kamu juga bahagia maka itulah sahabat yang sesungguhnya.

I Found a Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang