Chapter 15

8 2 0
                                    

Beritahu aku bagaimana caranya aku selalu ada untukmu agar aku bisa meghapus setiap tetesan air mata yang tak ingin kulihat di wajahmu.

-_Riyan_-

"Mama." Teriak Nadine di rumah sakit saat mengetahui jenazah Lisa sudah di tutup oleh kain.

Dia kehilangan separuh jiwanya lagi bahkan lebih parah dari waktu itu. Nadine sangat menyayangi Lisa bahkan dia tidak meninggalkan atau menganggap Lisa ibu yang menyusahkan ketika Lisa sedang sakit.

"Papa." Pandangan Nadine teralih kepada seorang lelaki yang tubuhnya terbungkus dengan peti yang bertuliskan Hermawan asusilo.

Kali ini Tuhan tidak main-main ingin mengujinya. Tuhan merenggut sumber bahagia yang selama ini Nadine miliki. Bahkan Tuhan tidak memberinya kesempatan untuk mengabdi lagi kepada Papanya.

"Nadine berdiri," kata Vera berusaha membangunkan Nadine di lantai.

"Ke..napa? Ken..apa?" Nadine bertanya kepada Vera dengan terbata-bata karena terganggu oleh isak tangisnya.

Sumber kebahagiaanya di renggut lagi. Bukankah tidak ada yang lebih menyakitkan dari kepergian orangtua? Dan ini Tuhan mencabut nyawa orangtua Nadine di waktu yang bersamaan. Rasanya Nadine tak ingin lagi menjalani hidup ini, dia ingin menyusul saja kedua orangtuanya.

"Gu..e bu..t..u..h Riyan," ucap Nadine lirih.

Hanya Riyan yang mampu menenangkan hatinya. Seperti waktu itu, saat Nadine tidak terima jika Helmawan kembali ke dalam keluarganya. Tapi Riyan menyadarkan segalanya. Vera mencoba menghubungi Riyan namun nomornya tidak aktif. Vera bingung harus bagaimana seharusnya dalam kondisi seperti ini dia mampu menenangkan sahabatnya.

***

Disisi lain Riyan masih berkutik dengan tugasnya di sekolah. Lelaki itu jika sedang sibuk mengerjakan tugas di mematikan ponsel agar tidak ada yang mampu menganggunya. Lestari datang kerumah Riyan dengan alasan ingin mengetahui pelajaran selama dia tidak di sekolah itu karena dia murid baru. Dengan terpaksa Riyan mengijinkan Lestari di rumahnya untuk meminjam sebagian bukunya dan mengerjakan tugas bersama.

Riyan meskipun tidak menyukai Lestari tapi dia tidak menampakkan rasa sakit hatinya. Karena Lestari juga perempuan yang pernah dia perjuangkan mati-matian dulu. Sampai dia rela menyusul ke Amerika demi sebuah kejelasan hubungannya.

Ponsel Lestari berbunyi tanda ada pesan masuk. Lestari menggapai ponselnya melihat siapa yang mengirimnya pesan.

Vera

Lo lagi sama Riyan gak? Gue butuh Riyan atau lo suruh aja dia aktifin ponselnya.

Lestari hanya mrmbaca lewat notif di atas lalu dia menaruh ponselnya kembali. Sekarang tidak ada yang boleh mengganggu dia dengan Riyan. Ini momen langkah setelah Riyan kenal sama Nadine.

"Yan, ini gimana?" Tanya Lestari pura-pura ketika dia melihat Riyan ingin menggapai ponselnya.

Riyan dengan sabar mengajari Lestari yang tak kunjung mengerti. Mama Riyan datang dengan membawa camilan untuk mereka biar tidak jenuh ketika sedang belajar.

"Di makan ya Les," seperti yang terlihat, Lidya sangat menyukai kecantikan Lestari namun Lidya menyayangkan karena dia telah menyakiti hati putra kesayangannya.

"Tante kok repot-repot?"

"Gak repot kok sayang, di makan ya!"

"Terimakasih tante."

Riyan yang melihat adegan barusan memutar matanya. Lestari selalu bisa merebut hati Lidya mungkin karena Lidya masih belum mengenal Nadine.

"Yan, apa sebegitu fatalnya kesalahan gue sampek lo gak mau maafin gue?" Tanya Lestari lagi mencoba mengungkit kenangan pahit itu dalam diri Riyan.

"Kalau gue gak maafin lo, gue gak akan ada di sini buat ngajarin lo."

"Segampang itu lo ngelupain gue dan berpindah ke Nadine?"

"Segampang lo khianatin gue." Kata Riyan penuh dengan penekanan dan hinaan.

Lestari menarik nafasnya panjang, "gue mintak maaf, gue khilaf. You know lah Yan di sana luar negeri. Dan gue sendiri gue butuh orang buat nemenin dan ngelindungi gue. Tapi sekarang kita sudah di negara yang sama, lo gak mau balik sama gue?"

"Memberi kesempatan kepada orang yang sama, sama aja kayak memberi kesempatan lagi bagi orang itu untuk melukai."

"Kita mulai dari awal, kita perbaiki semuanya yang sudah rusak. Gue mintak maaf."

"Memulihkan rasa sakit tidak semudah meminta maaf."

Riyan muak dengan Lestari, dia selalu mengungkit tentang rasa yang masih belum sepenuhnya terhapus di hatinya. Orang bilang kenangan memang tidak akan pernah terhapus tapi melupakan seseorang bisa di ukur ketika kita sudah merasa baik-baik saja saat mendengar namanya.

Dia melihat Lestari sedang menangis meratapi nasibnya atau mungkin penyesalannya karena sudah menyiakan Riyan. Begitulah Lestari selalu bertindak seolah dia korban dan Riyan adalah pelakunya padahalsebaliknya.

"Hapus air mata lo dan pulang!"

Lestari tidak percaya dengan pendengarannya, Riyan mengusirnya. Seolah Lestari adalah sampah yang harus di basmi.

"Dulu lo memang yang berharga bagi gue. Tapi gue udah janji sama diri gue sendiri kalau gue gak akan menoleh lagi ataupun kembali lagi kepada orang yang sudah menyiakan gue. Lo cantik Les, lo bisa dapetin lelaki yang baik tapi tolong jangan pernah lo siain mereka lagi." Ucap Riyan panjang lebar tapi tidak menghadap Lestari.

"Lo gak tau gimana rasanya jadi gue di sana. Penuh dengan ketakutan." Teriak Lestari seolah ini adalah rumahnya.

"Kecilkan volume nada bicara lo. Lo gak pantes bentak gue."

"Terakhir kali, gue mohon." Kini Lestari sudah mulai tenang dan mampu mengontrol emosinya.

"Apa?"

"Gue mau peluk lo."

Permintaan yang tidak mungkin Riyan tolak. Bagaimanapun dia masih punya hati. Sudah cukup banyak yang Lestari terima dan Riyan paling tidak tega jika melihat perempuan menangis. Lestari memeluk Riyan seolah tidak akan bertemu lagi tapi Riyan tetap diam di tempat tidak menggerakkan tangannya sedikitpun untuk membalas pelukan Lestari.

"Makasih." Lirih Lestari, "gue gak nyesel pernah mencintai lo Yan."

Lestari pergi meninggalkan rumah Riyan seperti apa yang Riyan perintahkan. Riyan mengusap wajahnya frustasi. Jika yang dia lakukan sekarang adalah sebuah kesalahan tolong beritahu Riyan dimana letak kesalahannya. Jika memang yang dia lakukan benar tolong bantu yakinkan dia jika keputusan ini memang baik.

"Lestari sudah pulang?" Tanya Lidya.

"Sudah Ma."

"Ada apa nak? Kenapa wajahmu kusut sekali?"

"Bagaimana jika aku mencintai Nadine tapi seolah hatiku masi berpihak kepada Lestari wanita masalaluku Ma?"

Lidya tersenyum tulus, "kamu sudah besar putuskan apa yang menurutmu baik. Seseorang bisa berubah sayang. Jika hanya dengan satu kesalahan lalu orang di anggap sebagai penjahat selamanya bagaimana cara dia membuktikan jika dia bisa berubah?" Lidya menarik nafasnya panjang. "Nadine siapa mama tidak pernah dengar?"

"Teman sekolah Riyan. Tapi dia mempunyai trauma yang besar terhadap laki-laki Ma."

"Aduh.. kamu cari yang normal aja. Jangan berharap sama yang gak pasti Riyan. Sekarang kamu naik ke kamar lalu tidur besok sekolah kan?"

Riyan mengangguk lalu mencium Lidya dan beranjak menuju tempat tidur. Pernah gak sih merasa kalau tempat tidur adalah teman terbaik untuk menyelesaikan masalah. Tempat tidur adalah teman terbaik untuk menceritakan segala masalah. Riyan merasa jika seperti itu.

I Found a Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang