7

281 19 0
                                    

[Author POV]

Jungkook sedang bermain bersama keponakan kecilnya di ruang depan. Bukan karena dia ingin, tetapi karena dia tidak sabar menunggu Chizuru yang belum datang juga. Tidak sekali atau dua kali dia mencoba menghubungi wanita itu. Terpaksa mengundurkan diri dari orang-orang yang mungkin menyadari kegugupannya.

Dua adik perempuannya sudah pulang ke rumah. Tentu saja mereka hampir sama dengan yang lain—menanyakan di mana calon kakak iparnya—sehingga Jungkook harus lebih bersabar lagi menunggu. Keponakan yang seharusnya ia jaga, lebih senang berlari-lari mengitari rumah. Selama tidak menabrak apapun, Jungkook tidak memperdulikannya. Keponakannya saja tidak ia pedulikan, apalagi screen ponselnya yang mungkin akan segera retak karena ia terlalu bernafsu menekan redial.

Jungkook masih fokus pada kegiatan menghubungi kekasihnya itu saat seseorang berteriak di balik punggungnya. "Heojun-a! cepat bereskan mainanmu atau bibi akan marah? Oppa, kenapa kau diam saja? lihatlah! Rumah ini berantakan. Kau mau kekasihmu melihat ini? Apa yang akan dia pikirkan?"

Itu Heejin, sedang mengomeli dua orang lelaki yang sibuk dengan dunia mereka masing-masing. "Kau saja yang bersihkan. Aku sibuk."

"Tapi—"

"Sudahlah, biarkan saja. dia masih anak-anak. Kekasihku akan mengerti. Lagipula kau saat kecil lebih parah dari ini."

"Huh!" Yah, Jungkook memang selalu bisa mengendalikan adiknya yang satu ini. Pada akhirnya orang itu sendiri yang merapikan mainan yang berantakan. "Aku semakin penasaran dengan kekasihmu itu. Eonni macam apa yang mungkin tahan denganmu yang menyebalkan?"

"Bukan urusanmu."

Kalau dipikir lebih dalam, Heejin ada benarnya. Chizuru, dia cukup sabar menghadapi Jungkook meskipun dia sangat menyebalkan. Walaupun ia sering diatur dan diomeli oleh Jungkook, wanita itu tetap menuruti apa yang dikatakannya. Bisa dibilang dia sabar? Jungkook terkekeh sendiri. Entah mengapa dia merasa hebat.

"Daripada tertawa sendiri seperti orang gila bukankah lebih baik Oppa membantuku?"

"Suruh Heojun saja."

"Heojun masih kecil! Oppa kau pemalas sekali!"

"Selama ada kau kenapa aku yang mengerjakannya? Itu gunanya punya adik yang rajin. Benar, kan?" Jungkook dengan puas tertawa kemudian meninggalkan ruang depan. Bukan berarti dia sedang dalam mood baik, karena ia dalam masa mengkamuflase rasa kesal menunggu Chizuru yang tidak kunjung muncul.

.

.

.

.

.

[Chizuru POV]

"Yeobose—"

"Kenapa kau baru jawab telponku? Kau pikir berapa kali aku mencoba menghubungimu huh? Kau dimana? Kenapa lama sekali?"

Aku terpaksa menjauhkan ponselku dari telinga karena pria gila ini baru saja mencoba memecahkan gendang telingaku. "Aku sebentar lagi sampai. Kau bisa tidak menelpon sambil emosi, kan? Ponselku akan rusak kalau menghubungiku seperti penagih hutang."

"Kau membuatku menunggu terlalu lama. Cepat kemari!"

"Ini belum waktunya makan siang,"

"Kau mau aku—"

"—iya, aku tau. aku akan segera sampai. Jaga bicaramu di sana. Jangan berteriak. Kau tau keluargamu bisa mendengar sikap kasarmu kepada ku, kan? Bisa bisa kau yang dipecat dari daftar keluarga mereka. Aku tutup." Aku tak peduli pria itu mungkin kesal saat aku menutup telponnya, tetapi itu lebih baik daripada aku mesti kehilangan satu telingaku.

Aku saat ini berada di taksi, dalam perjalanan menuju rumah keluarga Jeon, pemimpin Alta Group dengan total kekayaan mencapai 10 triliyun. Aku bisa gila membayangkan betapa gilanya aku mengikuti permintaan gila anak mereka untuk menjadi kekasih pura-puranya. Iya, aku tau aku menggunakan terlalu banyak kata gila.

Jika aku boleh jujur, aku ingin tidur walau sebentar. Setelah semalam bekerja hingga larut—pekerjaan gila berupa memuaskan nafsu seorang Jeon Jungkook, aku mesti bangun pagi hari untuk mengantarkan surat lamaran kepada temanku. Meski aku akan mulai bekerja besok, aku akan mengaku bekerja di sana sejak setahun yang lalu. Setelah dari sana aku pergi ke salon, merapikan penampilanku. Tentu saja aku ingin memberikan kesan wanita berbudaya. Terakhir aku pulang kerumah untuk membuat sesuatu, sebelum akhirnya aku pergi ke rumah keluarga itu. Hari belum sampai separuh berlalu, tetapi aku sudah melakukan banyak hal melelahkan.

Kalau bukan karena uang... ah, jangan pikirkan itu.

.

.

.

.

.

Sampai di depan sebuah rumah besa yang kuyakini adalah tempat tujuanku—karena aku melihat mobil Jungkook terparkir di dalam, aku segera menghubunginya. Sambil menekan bel pintu, aku menunggu di depan pagar. Tidak lupa aku membawa sebuah tempat makan kecil berisi makanan yang sempat kubuat tadi di rumah. Aku memperhatikan bayangan penampilanku, sepertinya sudah baik. Yah, sekarang hanya perlu eksekusinya.

Jungkook sepertinya sangat terburu-buru sehingga hanya butuh beberapa puluh detik sejak aku mengirim pesan, dia segera keluar menyambutku. Tetapi, wajahnya tidak membuatku bersemangat. "Kenapa lama sekali?" beruntung sekali tidak ada yang mengikutinya dari belakang. Namun, walau terlihat kesal aku tau dalam hati dia terpesona dengan perubahan kecil dari penampilanku.

"Keluargamu sedang menungguku? Apa mereka sudah hendak makan siang? Ini belum jam 12,"

"Kau pikir kau hanya datang untuk makan siang? Ayolah, ini perkenalan. Kau harus terlihat sopan, rajin dan berbudaya. Apa itu yang kau bawa?"

Aku seketika melirik ke arah tatapan Jungkook, dia bahkan tidak membukakan pagar untukku. "Takoyaki. Bisakah kau bukakan pagar ini? Bukankah keluargamu sudah menunggu?"

Jungkook sepertinya juga baru sadar, dia segera mempersilahkanku masuk. "Untuk apa kau bawa takoyaki? Rumahku tidak kekurangan makanan."

"Aku bawakan ini untuk keponakanmu. Dia kan sangat sulit makan, mungkin makanan baru bisa membuatnya lahap." Aku tersenyum bangga karena Jungkook pasti terkejut dengan ideku. Yah, ini inisiatifku sendiri.

Aku melihat Jungkook yang sepertinya sedang menahan sesuatu, jadi aku menyuarakannya. "Kau memikirkan apa?"

"Aku hanya khawatir ini tidak berhasil."

"Tenang saja, kau bisa percaya padaku. Kau hanya perlu membantuku nanti. Sisanya, kau bisa serahkan padaku."

Ketika aku menemukan sosok seorang wanita paruh baya keluar dari pintu, aku segera merapatkan tubuhku pada Jungkook. Pria itu juga segera mengerti untuk terlihat mesra bersamaku dengan menggenggam tanganku. Akupun memberikan senyuman termanis yang kupunya pada wanita itu, dia pasti ibunya Jungkook.

"Selamat siang."    

.

.

.

.

.To be continued

Fake Love | Jeon Jungkook 18🚫Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang