21

1.3K 48 0
                                    

"Lis kamu nggak pengen beli kosmetik juga ?" tanya jeni padaku yang sedang mengekor dibelakangnya di sebuah toko kosmetik. "Biasanya ibu yang beliin skincare" jawabku seadanya. "Oh. Tapi gue gk pernah liat lo pakek kosmetik. Wajah lo polos-polos aja terkesan pucet malah".
"Kita kan masih anak sekolah mau pakek apaan ? Kata ibu yang penting kulit dirawat biar sehat. Ibu biasa beliin facial foam, pelembab sama bedak tabur aja". Jeni menghadapku. "Ibu lo bener. Tapi kan pakek perwarna bibir dikit nggak masalah biar nggak pucet".
"Lo tu cantik tauk. Cuma karena nggak ada warnanya di muka lo yang putih itu. di dukung dengan mata lo yang sipit  lo jadi kayak mayat hidup".
"Sini deh liat cermin. Rambutnya di kebelakangin dikit biar nggak nutupin muka. Eeemb kapek lipgloos atau liptint dikit kayak gini. Maskara juga.Satu lagi kalo jalan jangan kebanyakan nunduk"  jeni mempraktekan yang dia katakan padaku. Mengaplikasikannya di wajahku. "Nah cantikkan ?. Gue beliin ini buat lo besok pakek ya !". Dia memberikan liptint pink padaku.

Tidak ada salahnya mencoba apa yang jeni katakan kemarin itu sekarang. Aku melihat kembaran ku di cermin. Setelah menjepit sedikit kedua sisi rambutku. Ku aplikasikan liptint pemberian jeni kemarin. Tersenyum melihat pantulan diriku. Aku menguatkan hatiku. Kamu pantas bahagia lisa meskipun tanpa dia.

Suara dentingan sendok beradu piring mengiringi sarapan pagi ini. Memberikan irama fikiranku dalam merangkai kata. Makanan didalam piringku jadi korbannya. Aku mengaduknya asal sebagai pelampiasan. Gelisah, rasa bersalah, kecewa dan juga amarah berbaur menjadi satu. Sama seperti lauk dan nasiku kacau.
"Yah, lisa minta maaf" aku mengeluarkan kata yang sudah di ujung lidah. Minta maaf memang tidak semudah itu. Bukan ngomongnya tapi menurunkan egonya, gensinya dan gejolak dihati saat berbicara. Tapi kamu akan merasakan hasilnya setelah menyelesaikannya. Lega, seperti baru minum setelah menahan untuk menapaki bukit yang tinggi. Mungkin ini penyebabnya makananku tak ku lahap juga. Terlalu banyak kata yang memenuhi rongga mulutku. Wujud rasa bersalah pada ayah dan ibu. "Harusnya lisa nggak nyalahin ayah dan ibu nggak ngomong keras kayak kemarin. Maaf yah". Menunggu jawaban memang membosankan namun rasa gelisah karena bersalah lebih menyesakkan. Ayah menghela nafas "jangan diulangi lagi" dengan tatapan yang biasa saja. Atau mungkin aku yang tak dapat mengartikannya. Pria memang sepintar itu dalam menyembunyikan rasanya. Walau aku tau dia juga manusia yang memiliki rasa dalam hatinya.
Berbeda dengan ibu yang air matanya luruh saat aku tergugu dipeluknya.
"Anak ibu pakek pewarna bibir ? Kok tumben" tanya ibu mencairkan suasana. Sosok ibu adalah penghangat sekaligus penyelamat dalam bekunya keluarga. "Kan lisa udah dewasa nggak papa kan bu ?". Aku memberikan senyuman tertahan. Ibu mengangguk "asal tidak berlebihan" katanya.

Mulai menyuap nasi untuk membuat tenaga ekstra agar kuat untuk kata-kata selanjutnya. Menelannya paksa biar waktuku tak kadaluarsa. "Lisa berangkat naik angkot ya ?". Kataku ragu. Niatnya sih biar keliatan mandiri udah gede ini. Sambil ngindar dari kak dirga juga. "Bareng ayah aja" jawab ayah selanjutnya. Getaran lirih dijantungku mereda. Sebenarnya aku juga belum siap. Harus berdesakan dengan om-om berkumis tebal, ibu-ibu dari pasar atau orang-orang berbadan besar namun tidak sadar. Menghela nafas lega aku mengangguk patuh. Hari ini nyampek sekolah tetap utuh.

Didepan rumah, kak dirga ada disana. Aku tau maksudnya. Mengajakku berangkat bersama. Namun aku langsung menyambutnya dengan kata "mau berangkat sama ayah aja". Yang ku ucapkan dengan nada biasa saja. Ayah dan ibu tak perlu tau apa yang terjadi pada kita. Ini masalah cinta urusan anak muda dengan hatinya. Orang tua tak perlu dilibatkan nanti malah tak karuan. Bisa merembet perpecahan tetangga dan lainnya. " hati-hati ya" kata kak dirga dengan senyumnya. Tak usah disuruh pasti begitu. Aku  masih sayang nyawaku walau hidup tanpa ketulusanmu.

Dijalan kak dirga membuntutiku. Ayah jadi banyak tanya. Kenapa nggak bareng kak dirga ?. Lagi ada masalah ? Dan sebagainya. Hanya ku jawab "nggak papa". Ya jawaban wanita pada umumnya.

Sampai disekolah banyak mata tertuju padaku. Mengganggu, memang apa salahku ?. "Berhenti menunduk jangan tutupi kecantikanmu dengan rambut lisa" tergiang kata jeni kemarin. Ku lakukan intruksinya. Tak ingin mendengarkan bisik tetangga ku alihkan telinga pada suara sepatu yang bertepuk memberikan irama. "Ehem pagi tuan putri. Cantik sekali hari ini". Harusnya dia pakek kacamata. Gadis yang di bilang manja ini memang cantik dari sananya. Atau pakek kacamata kuda sekalian biar mataku yang sipit terlihat sempurna. "Kak elang" panggilku pada pria yang tengah asik melenggang yang hanya terlihat belakang. Sang empunya nama berhenti dahinya mengeryit keheranan. Memandangku meneliti apa yang berbeda rupanya. Aku tersenyum melewati pandangan tak suka dari lelaki yang sebelumnya menyapaku dengan ramahnya. Maaf kak dirga tapi kamu sendiri lah penyebabnya.
"Cantik" tutur kak elang.
"Dari lahir" jawabku dengan senyum mengembang. Suara derap langkah mendekat. Lalu lewat begitu saja.

Kamu yang mendorongku menyulut api cemburu. Lewat rasa kecewa dari kata sederhana yang mengoyak dada.

Pulang, aku melangkah tergesa ke parkiran. Agar tidak ditinggalkan. "Kak elang lisa mau ikut kerumah. Mau ketemu bunda boleh ?". Kak elang yang bersiap mengenakan helm menggurungkan niatnya. Ia nampak berfikir ada tanya besar dikepalanya aku tau itu. "Mau belajar bikin soto" jelasku tersenyum meyakinkan. "Bunda ada kelas hari ini. Terus ada acara juga".
"Bunda guru ?". "Dosen" dia tersenyum ramah. Aku ber oh ria. Pantesan kak elang pinter banget. Dirumahnya juga banyak piala olimpiade mipa dsb. Sepertinya keluarganya jenius semua. "Kok nglamun. Gimana besok aja,biar aku bilang dulu ke bunda ?". Aku memangguk patuh. "Kalau nebeng boleh ?" emang itu niat awalnya.

Complete Me !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang