14 Only Possibilities

38 1 0
                                    

Udara terasa dingin, hujan turun dengan derasnya, berteduh dikoridor sekolah. Tangan Amabel pelan menyentuh rintihhanya.

"Amabel!" Panggil Rayfan.

Amabel menoleh. Rayfan mendekat.

"Kok belum pulang?"

"Bosen aja dirumah,"

"Kerumah gue yuk,"

"Ngapain??"

"Mainlah,"

"Game?"

Rayfan mengangguk cepat.

Hmm..., udah lama juga gue gak main game..., pikir Amabel.

Amabel dan Rayfan pergi meninggalkan sekolah.

Beberapa menit kemudian, mereka sampai dirumah Rayfan. Membuka pintu mobil, melangkahkan kakinya keluar, turun.

Rayfan membuka pintu rumah yang besar itu. Tidak terlihat siapapun disini.

Gue heran kenapa selalu sepi? Sesibuk itukah orang tua Rayfan? Batin Amabel, heran. Melihat Rayfan hanya dirumah sendiri.

"Bel maennya dikamar abang gue aja ya,"

Amabel mengangguk.

"Lo masuk aja dulu. Gue mau ganti baju,"

Amabel tersenyum. Setelah Rayfan meninggalkannya sendiri diruang tamu, Amabel pergi kelantai atas. Membuka pintu yang tidak tertutup rapat itu pelan. Masuk.

Amabel memandang sekitar, melihat foto foto yang terpajang disana, dan benda-benda milik almarhum kakak Rayfan.

Sampai ketika perhatiannya tertuju pada bingkai kecil yang unik. Amabel meraih bingkai itu, memandang foto yang ada didalamnya.

"Hm..., mirip..." ucap Amabel pelan.

"Itu almarhum abang gue, namanya Zafran Nanda Greynathan" ucap Rayfan, tiba tiba sudah ada disamping Amabel. Rayfan membawa nampan yang berisi minuman dan makanan.

"Mirip banget sama lo Ray, hmm..., kalau boleh tau kenapa?"

"Oh..., abang gue sakit, pihak rumah sakit udah berusaha, tapi gagal,"

"Sakit apa?"

"Kelainan jantung, dari kecil,"

"Gitu ya, maaf ya Ray,"

"Gak-papa kok, yuk maen,"

Kami duduk bersama didepan TV yang besar itu. Rayfan menaruh makanan dimeja tidak jauh dari kami.

Terlihat banyak sekali tumpukkan game dirak bawahnya. Rayfan mengambilnya beberapa, dia mengambil game yang waktu itu ia dapat dari Reza.

Memasangnya dan memulainya.

"Siap?"

Amabel tersenyum miring.

Setengah jam kami bermain.

Game over.

Permainan ini dimenangkan oleh Amabel. Lalu mereka bermain lagi dan lagi. Lagi-lagi permainan dimenangkan olehnya.

"Kok jago banget sih bel," ucap Rayfan sambil melanjutkan permainan dan melahap sebuah roti ditangan kanannya.

"Gue udah main semua game ini,"

"Sama siapa?"

Game over.

Permain selesai.

"Sama Reza,"

"Oh, pantes. Gue dapet gamenya juga dari dia,"

"Oh ya..., dia seneng banget main kaya gini. Sampai sampai dia sering lupa makan. Aku pernah liat lemari khusus game punya dia. Lo tau nggak dulu gue nub banget main kaya gini, setiap main pasti Reza selalu ngalah, biar gue yang menang dan sekarang gue bisa main ini karena dia."

Rayfan mendengarkan dengan baik cerita itu.

"Gitu ya,"

"Reza pinter kok tentang urusan pelajaran walaupun dia suka main game. Lo tau kan gue benci banget sama pelajaran matematika apa lagi fisika. Setiap gue males sama pelajaran itu, Reza motivasi gue. Gue selalu lakuin metode belajar yang Reza kasih dan sekarangpun gue juga masih ngelakuin itu."

"Iya gue tau itu kok, buktinya soal matematika yang lo kerjain bener semua,"

"Lo percayakan, Reza laki-laki yang baik,"

"Iya, nggak kaya guekan" ucap Rayfan menyela.

"Apasih..., lo baik kok," Amabel menyenggol lengan Rayfan sengaja.

"Kalau dia laki-laki yang baik, kenapa lo tega tolak dia lagi?"

"Maksudnya?"

"Lo masih sayangkan sama dia?" Seketika Amabel terdiam mendengar pertanyaan itu.

"Kalau lo masih sayang kenapa lo tolak dia," ucap Rayfan pelan. Amabel mengalihkan tatapannya.

"Enggak,"

"Nggak usah boong bel,"

"Gue nggak boong kok,"

"Itu apa, lo nggak berani natap wajah gue waktu bilang. Gue tau lo masih sayang sama diakan,"

"Kenapa?"

"Apa lo tau dia sayang banget sama lo, dia sedih banget sekarang,"

"Nanti juga dapat yang lebih baik," Amabel menutupi kesedihannya dengan senyumanya.

"Lebih baik itu lo orangnya, lo adalah orang terbaik yang dikirimkan tuhan untuknya. Beri Reza kesempatan lagi" Rayfan memohon.

"Maaf-fin gue Ray, gue emang masih sayang dan cinta sama Reza. Bukan nggak mau ngasih kesemoatan. Tapi gue nggak bisa," ucapnya. Air matanya tidak bisa terbendung lagi.

"Kenapa?"

"Gue nggak mau jadi beban buat dia, lagi pula dia sekarang juga udah sukses, dia pantes dapet yang lebih baik," jelasnya. Terisak, sungguh dia benci kalimat itu.

"Apa maksud lo jadi beban?"

Amabel tersenyum diantara air matanya yang jatuh.

"Gue cewek yang penyakitan, gue sama kaya abang lo, dan lo udah tau itu,"

Seketika Rayfan memeluk Amabel erat.

"Gimana kalau gue bernasib sama kaya abang lo, gue udah nggak lama lagi hidup didunia," ucap Amabel, yang membuat Rayfan membungkam mulutku dengan jarinya.

"Jangan bilang itu lagi, sekali lo ngomong lagi gue nggak mau lagi temenan sama lo," Rayfan lalu mengusap air mata Amabel dan memeluknya.

Hari ini gue ngerti bahwa gue dengannya hanyalah kemungkinan kemungkinan, yang mungkin tidak akan jadi mungkin.
***

Say GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang