9 Afraid

129 7 0
                                    

"Adara! Amabel mana?" Tanya Rayfan, sepulang sekolah, di parkiran motor, yang ramai.

"Oh dia, katanya mau ke uks gitu," mendengar itu Rayfan langsung pergi, berlari menuju UKS, tidak lupa Rayfan mengucapkan terimakasih.

Rayfan berjalan cepat, di koridor sekolah. Sampai di UKS, pintu itu tertutup rapat tanpa terkunci, Rayfan langsung membukanya, tanpa permisi, mungkin karena efek terlalu panik.

Terlihat Amabel sedang mengoleskan minyak kayu putih di perutnya yang putih mulus nan rata itu. Itu kejadian yang tak sengaja, sungguh.

"Maaf bel, maaf," Rayfan kembali menutup pintu, sepontan, keluar dari uks.

Amabel menoleh, Rayfan? Cepat cepat Amabel menutup perutnya.

Lalu mengembalikan minyak kayu putih itu kembali, ke kotak P3K. Amabel keluar UKS, berusaha tuk sikap biasa, walaupun sebenarnya dia sangat malu.

"Bel, lo masih sakit ya?" Tanya Rayfan, setelah Amabel keluar.

"Enggak, udah mendingan," jawab Amabel, biasa.

"Gue pesenin taxi ya, lo mau?" Tawar Rayfan, Rayfan sedikit menunduk, sesekali memandang wajah Amabel, yang selalu tertuju ke bawah, karena menahan malu.

"Enggak gue udah pesen taxi, pasti sekarang udah dateng, ok gue duluan"

"Bel! Maaf untuk kejadian tadi gue nggak sengaja," ucapnya, sedikit keras.

Amabel menghentikan langkahnya, tanpa berpaling ke belakang. Amabel menghebuskan napas panjang. Lalu pergi tanpa berkata apapun.
***

Hari ini, sore yang indah. Matahari perlahan turun, menyembunyikan dirinya, menyembunyikan cerahnya langit, dan Amabel berharap dapat menyembunyikan kegelapan yang ada di hidupnya.

Tapi tidak kegelapan datang tak henti henti.

Amabel berdiri di tempat yang sama, tempat dimana dia bertemu dengan Rayfan tuk pertamakalinya. Menatap sunset, yang indah itu dari atas sana.

"Amabel!" Panggil seseorang dari ke jauhan.

Amabel menoleh ke belakang, terlihat seorang laki laki berlari mendekat, wajahnya tak terlihat jelas.

Siapa dia?. Dia behenti tepat di depan Amabel.

"Reza?"

"Ngapain lo ke sini, kok lo tau kalau gue ada disini," Amabel benar benar terkejut.

"Bel, gue mau balik sama lo," ucapnya memohon.

"What? Setelah lo hancurkan semua ini, lo minta maaf,"

"Gue udah bilang bel, gue nggak tau apa-apa. Gue juga nggak ngerti"

Amabel terdiam lama. Ingin menciba lagi, tapi takut jika berakhir sama...

Reza menjatuhkan dirinya, bertumpuan ke dua lututnya, meraih tangan Amabel, memohon.

"Bel, kesempatan sekali saja, gue masih sayang sama lo, gue Reza Rarendra ingin menjadi pendamping hidup lo," Reza menunjukkan cicin tepat di hadapanya, Amabel menatap Reza, sayang.

Amabel tau perasaan itu masih ada. Perasaan itu masih meninggalkan bekas. Sayang! Kenapa ini sulit sekali hilang, tapi rasa sakit itu sulit sekali tuk di lupakan.

Malam itu terasa seakan Amabel tak ingin hidup di dunia yang kejam ini, tapi hari ini seakan aku tak boleh pergi dari dunia ini. Tapi berlari dengan kaadaan yang pincang, itu takkan bisa. Memaksakan kehendak yang tak mungkin, itu akan menimbulkan harapa yang baru, dan mungkin rasa sakit yang baru.

Amabel melepaskan tangan Reza, tanpa menyentuh cicin itu sama sekali. Dia pergi menjauh dari Reza. Kali ini Reza akan menerima keputusan yang di berikan Amabel, apapun itu.

Amabel terus berjalan pergi, tiba tiba kepalanya pusing entah kenapa, rasa sakit yang ada di perutnya tiba tiba kambuh lagi, rasa sakit itu datang dua kali lipat lebih sakit dari biasanya.

Perlahan Amabel jatuh, dengan sigap Reza menangkapnya. Amabel jatuh di atas tangan Reza, Reza yang mulai panik, menepuk pipi Amabel pelan.

"Bel!"

"Bel, bangun bel!"

Itu tak ada respon, Reza langsung membawa Amabel menuju rumah sakit terdekat.
***

Suster membawa Amabel dengan ranjang beroda itu, menariknya secepat mungkin.

"Apa yang terjadi denganya,"

"Entahlah sus, tiba tiba dia pingsan, baru beberapa menit yang lalu sus,"

"Baiklah, anda tunggu di luar,"

"Tapi sus,"

"Di mohon kerja samanya," suster itu menutup pintu ruangan periksa dengan cepat. Berhasil membuat Reza menunggu di luar.

Reza dengan cepat mengekuarkan ponselnya, menghubungi keluarga Amabel.

"Hallo, hallo tante,"

"Iya Za, ada apa?"

"Amabel tante, tiba tiba dia pingsan dan sekarang ada di rumah sakit,"

"Apa? Amabel ada di rumah sakit mana?"

"Rumah sakit pelita pusat tante, yang gak jauh dari dataran tinggi,"

Telfon itu tertutup dengan cepat. Tangan Reza bergetar menggenggam cincin tunangaanya dengan Amabel itu.

Rasa bersalah, takut kehilangan, menyergap Reza.

Bel gue minta maaf, gue minta maaf bel.
***

Say GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang