Hujan bertambah deras saat Tessa memasuki mini market. Untung ia meminta cowok yang mengantarnya tadi untuk memberhentikannya di depan sebuah toko alat sekolah. Jadi saat ini, setidaknya ia bisa tenang karena sudah dipastikan bahwa kini cowok itu sudah duduk santai di rumahnya.
Langkah kakinya membawanya pada lorong kesayangannya. Lorong dimana beberapa obat berjejer didepan matanya. Entah kenapa, akhir-akhir ini ia merasa terlalu lelah. Selalu ingin muntah, dan sering tersedak. Dadanya bahkan sering sesak tiba-tiba. Jadi, ia memutuskan untuk membeli beberapa koyo agar nanti malam ia bisa tidur nyenyak.
Mata Tessa beralih pada deretan salep. Saat ini ia butuh salep untuk menyembuhkan beberapa luka bekas turnamen taekwondo. Mengambil satu dan memasukkannya kedalam keranjang yang sempat ia ambil tadi.
Ia juga membeli beberapa obat pereda rasa sakit, beberapa camilan untuk menemani malam nanti. Mungkin malam nanti ia akan membaca beberapa novel untuk referensi bacaan. Entah kenapa, mengingat rencananya nanti malam membuat Tessa ingat kejadian saat di kelas tadi.
Tadi Seva memintanya untuk bertemu di kedai.
"Semuanya empat puluh ribu, mbak." Ucapan dari pegawai mini market membuat Tessa yang tadinya sibuk meneliti deretan cokelat didepan kasir langsung nyengir.
"Eh, iya mbak. Makasih."
Setelah memasukkan kantung belanjaan yang berisi obat kedalam tas, Tessa segera duduk di teras mini market. Tidak ada payung, dan tidak ada jemputan. Serasa jadi gembel. Bahkan jam tangannya sudah menunjukkan pukul 5 sore.
Hujan deras masih setia mengguyur kota Surabaya. Tidak ada pertanda akan berhenti. Membuat Tessa lagi-lagi mengeratkan pelukannya pada tas ransel birunya. Mau masuk kedalam mini market hanya akan membuat tubuhnya membeku karena AC. Tessa butuh kamar hangatnya!
"Lo kenapa ada disini?" tanya seorang pemuda dengan balutan jaket kulit serta helm hitam full face yang barusan turun dari motornya.
Pertanyaan tiba-tiba itu membuat Tessa spontan menoleh kekanan dan kiri. Tidak ada seorang pun disekitarnya selain dirinya yang sedang duduk tenang ditempat itu. Sedangkan pemuda yang Tessa tebak merupakan anak SMA dari celananya, hanya menatapnya dari dalam helm.
Tessa mengucek matanya. Suaranya kayak kenal. "Siapa?"
Pemuda itu membuka kaca helmnya lalu menyibakkan rambutnya tanpa sengaja. "Jeon Jungkook," jawab Seva asal.
Tessa bakalan melongo melihat pemandangan didepannya jika ia tidak sadar jika cowok yang berdiri didepannya adalah musuh abadinya. Wajahnya jadi tidak bersahabat. Seketika suasana di sekitar mereka terasa lebih gelap daripada cuaca hujan hari ini.
"Kenapa lo disini?" tanya Tessa sambil menatap tajam kearah Seva yang hanya menatapnya datar.
"Harusnya gue yang tanya gitu sama lo. Lo kenapa bisa ngamen disini?" Seva melipat kedua tangannya. Lalu memasukkan kedua tangannya pada saku celana. Masih dengan tatapan menusuk tajam kearah Tessa.
Tessa memicingkan matanya. "Suka-suka gue, dong! Udah sana, gue mau mikirin masa depan gue."
"Agaknya lo nggak menunjukkan lagi mikirin masa depan."
"Tau apa lo tentang gue?"
"Yang pasti lo adalah cewek paling absurd yang pernah gue temuin. Yang mikirin masa depannya didepan mini market."
KAMU SEDANG MEMBACA
Memoria | End
Teen Fiction[Complete] "Makasih, lo udah mau jadi bagian memori gue." Mari bertemu dengan Tessa, gadis dengan sejuta tanda tanya. Mari bertemu dengan Seva, cowok paling ngeselin yang pernah Tessa kenal. Tessa mempunyai rahasia tersendiri mengapa ia mau membantu...