18) Memoria

49 15 0
                                    


MATAHARI sudah terbenam beberapa saat lalu. Tetapi Tessa masih belum beranjak dari tempat duduknya. Beberapa burung nampak sudah hilir mudik pulang ke sarangnya masing-masing. Tessa tidak peduli walaupun beberapa kali ditegur untuk segera pulang karena ia masih memakai seragam sekolah.

"Mama gimana? Bahagia disana?" Tessa kembali membasuh batu nisan didepannya dengan pelan setelah membacakan doa. Semilir angin tidak membuat Tessa beranjak dari makam sang Mama.

Tessa tersenyum. Setidaknya masih ada yang bisa ia ajak bicara tentang masalah ini tanpa membuat sakit hati. Setidaknya Mamanya akan menyemangatinya dari alam sana. Dan Tessa berharap jika Mama tidak akan pernah memarahinya karena telah membuat kedua sahabatnya sakit hati.

"Karina dan Luna. Mereka baik. Sangat baik. Mereka menjaga Tessa dan buat Tessa selalu senyum. Tessa sayang banget sama mereka, Ma." Tessa menyeka air matanya yang merembes keluar.

Tidak, ia tidak akan mengunjungi Mama dengan air mata. Tetapi ia juga tidak bisa menahannya. Seakan sudah menjadi hukuman bagi Tessa karena sudah membuat kedua sahabatnya sedih dan merasa tidak berguna.

"Tessa juga sayang Ayah. Ayah jaga Tessa dengan baik. Mama nggak perlu khawatir." Suara Tessa melemah. Pun saat ia memutuskan untuk kembali pulang saat malam mulai menjelang.

"Lo ngapain disini?" Langkah kaki Tessa ringan sebelum sebuah suara dari arah belakang menginterupsinya. Membuatnya menoleh dengan perlahan.

"Lo ngapain disini?" ucap Tessa membuat pemuda itu mengerutkan keningnya.

"Bukannya gue yang harusnya nanya? Lo ngapain ada disini malem-malem? Mau ritual mandi tujuh kembang?" Cowok itu berdecih saat mengucapkan kalimat terakhir.

Tessa merubah raut wajahnya sepersekian detik kemudian. "Nggak ada hubungannya juga sama lo."

Pemuda itu menunjukkan wajah datarnya. Membuat Tessa membuang napas panjang. "Apasih mau lo?"

"Kalo gue bilang gue penasaran apa lo bakalan cerita?" Pemuda itu menghampiri Tessa yang masih terdiam sambil menatapnya dari atas sampai bawah. Penampilan pemuda itu sama seperti dirinya. Masih menggunakan seragam sekolah.

"Kita nggak pernah ada hubungan apa-apa selain itu," Tessa memejamkan matanya, lalu membukanya dengan pelan. "Dan gue harap lo masih tau batasan lo, Kho."

Pemuda bernama Dekho tersebut tersenyum miring.

"Gue emang tau apa batasan gue. Tapi gue rasa ... lo yang belum tau batasan lo."

***

Seva kembali memutar pensil diatas penghapusnya dari arah kanan dan membuatnya berputar seperti spiner. Buku didepannya masih mulus dan tidak tersentuh semenjak tadi. Bahkan, malam ini Seva tidak lagi bermain-main dengan kalkulatornya yang bisanya terlihat menggiurkan di matanya.

"Mau jadi anak durhaka, eh?"

Seva menoleh saat Papa memasuki kamar dengan langkah gontai. Wajahnya terlihat kusut akhir-akhir ini. Jas dokternya masih tersemampir indah di pundaknya, stetoskop masih menggantung di leher, dan juga mata panda yang menggelayuti kantung matanya. Seva tersenyum miris.

Papa menunjuk buku Seva dengan dagu. "Itu masih kosong."

"Emang sengaja," ucap Seva sambil kembali memutar pensilnya. Mengacuhkan Papa yang tengah telentang diatas kasur Iron Man-nya.

"Papa paham kalo kamu muak. Asal jangan bonyok lagi bakal papa toleri." Papa tertawa selanjutnya. Seva dapat mendengar nada lemah dari perkataan Papa kali ini. Cowok itu memilih menunduk.

Seva masih mengingat bagaimana ia melihat Tessa yang cuek saat di kelas tadi. Memang tidak begitu kentara, tetapi Seva dapat melihat beberapa bulir keringat di pelipisnya. Padahal keadaan kelas tadi dingin. Dan yang membuat Seva bingung adalah, Tessa langsung menerima soal TO yang ia sodorkan saat di kelas tadi. Biasanya, Tessa akan berusaha menolaknya dengan seribu alasan, tetapi hari ini bahkan mengucapkan terimakasih saja tidak.

"Papa lagi kena beberapa masalah, ya?" Seva memutar pensilnya, lalu memutar posisi duduknya menghadap sang Papa yang tengah melamun. "Pa." Panggil Seva saat Papanya tidak merespon.

"Eh, sori, papa nggak denger," Papa mengerjakan matanya sesekali. "Ada apa?"

"Papa ada masalah, ya?" Ulang Seva.

Papa menggeleng lalu mengulum senyum. "Enggak, kok. Tenang aja. Cuma lagi banyak pikiran aja."

"Lie. Papa bakalan gini kalo ada keadaan darurat. Cito," celetuk Seva cepat membuat Papa tertawa mendengar perkataan terakhir anak laki-lakinya itu.

"Kamu pikir resep?" Papa kembali tertawa terbahak-bahak. Membuat kerutan halusnya terlihat walau terhalang dengan cahaya redup kamar Seva.

Hening kembali menyelimuti. Baik Seva maupun Papa masih terdiam dalam keheningan. Seva hendak membuka bukunya saat suara Papanya kembali terdengar lirih.

"Kalo kamu dihadapkan dalam situasi sulit, kamu bakal ngelakuin apa?" tanya Papa membuat Seva tergugu sejenak. Bingung mau menjawab apa.

"Emang kenapa, Pa?"

Papa tersenyum lembut. "Papa cuma nanya."

Seva mengangguk. Papa memang bukanlah jenis kepala keluarga yang akan memutuskan untuk melakukan keputusannya sendiri. Kadang, adakalanya Papa akan meminta pendapat kepada Seva jika memang diperlukan. Membuat sifat Seva tidak jauh-jauh dari Papanya itu.

"Ada masalah apa sih, Pa?" celetuk Seva sambil menghempaskan pensilnya sedikit kencang.

Papa menggeleng. Lagi. Membuat Seva langsung menghembuskan napasnya panjang. Mencoba untuk memahami perasaan Papanya yang sedang duduk termenung di atas tempat tidurnya. "Papa kalo ada masalah cerita ke Seva. Papa udah janji."

"Beberapa minggu yang lalu kamu juga nggak cerita sama papa." Seva melotot sebelum bersikap tidak ada yang terjadi sebelumnya. "Papa tau, nggak pa-pa itu udah kebiasaan."

Seva meraba sudut bibirnya. Tidak terasa lagi jika ada gumpalan darah disana. Hasil dari aksi tonjok menonjok beberapa waktu yang lalu sudah tidak begitu terasa. Seva jadi ingat kalau dulu ia benar-benar menghindari Papa agar Papa tidak melihat luka di sekujur mukanya. Tetapi percuma, Papa pasti akan tau pada akhirnya.

"Papa dihadapkan sama satu pasien. Papa tau ada yang nggak beres dan ada yang bermasalah sama dia. Papa pikir ... mungkin dia tau apa yang terjadi dalam tubuhnya. Tapi ... Papa merasa kalau papa dihadapkan dalam situasi sulit." Papa terdiam.

"Jadi maksud papa, dia ...."

"Papa nggak bilang kalo dia nggak bakalan selamat. Papa bakal berusaha. Tapi kerusakannya juga terlalu parah."

"Papa udah periksa semuanya?"

"Belum. Dia bilang kalau dia akan mencoba untuk membuat kerusakannya berkurang sebelum kembali memeriksakannya ke Papa."

Mendengar suara bergetar dari Papa membuat Seva memandang bukunya dengan tatapan kosong. Ia mengerti perasaan Papanya.

Tetapi entah kenapa, Seva merasa ada yang berbeda. Seva benar-benar seperti akan dihadapkan pada situasi yang sulit. Dia dan Papa akan menghadapi situasi yang sulit.

***

Halohaiii...
Happy New Year🎉
Semoga tahun ini makin berkah")

Gimana kelanjutannya?
Ku pikir kalian udah Nemu clue-nya.
Next?

Chiao!

Memoria | EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang