"Jadikan setiap langkah menjadi sebuah memori, karna hidup itu sangat berarti walau hanya setengah detik."—Memoria—
DALAM Keheningan yang tercipta, tidak ada yang mampu membuka suara kecuali bunyi angklung dan juga beberapa alat musik lain yang terdengar nyaring di ujung perempatan jalan. Tempat dimana pengamen-pengamen berbakat menunjukkan eksistensinya walau malam berhujan.
"Gimana? Lo udah bikin bocah itu deket, kan?" Suara pertama itu keluar dari bibir Dekho yang sedang asik menatap lurus kearah gadis didepannya.
Membuat Tessa menggeleng ragu. "Gue masih belum bisa ngasih jawaban sekarang."
"Oh, oke. Gue nggak terlalu ngurusin juga. Ini demi kebahagiaan Nadh, karena gue udah bikin hidup dia nggak tenang," ucap Dekho dengan nada tenang.
"Tapi hidup lo lebih nggak tenang dibanding Nadh," ujar Tessa.
Dekho menggeleng. "Cuma ini yang bisa gue lakuin walaupun terpaksa. Jadi cucunguk itu belom ada perkembangan?"
Tessa tersenyum lalu mengangguk kecil. "Sepertinya bakalan susah, gue cuma pantau Seva. Yah, itu karena permintaannya yang absurd. Seandainya dia nggak pengen ngelakuin itu, mungkin gue bisa bantu yang lain."
"Dia pengen bisa bikin novel buatannya sendiri?" Ulang Dekho dengan wajah yang ia buat semenyebalkan mungkin untuk dilihat, tetapi ekspresi Tessa yang kelewat datar membuatnya langsung berdehem kecil. "Tapi lo masih bisa pantau dia, kan. Biar nggak berbuat macam-macam?"
Tessa mengangguk. Lalu berucap, "Gue masih kuat buat pantau dia. Dia juga nggak berbuat macam-macam ke Nadh. Tenang aja."
Suasana yang menjadi lebih dingin membuat Tessa mengeratkan genggaman tangannya pada switernya. Jari tangannya juga mulai membiru, efek karena penyakit dan juga kedinginan. Walaupun kafe dalam keadaan lumayan hangat, tetapi tetap saja Tessa merasakan kedinginan.
Hal itu membuat Dekho mengerutkan kening, sebelum melepas jaket kulit hitamnya dan meletakkannya di atas meja. "Pake," pintanya yang terdengar seperti perintah.
Tessa hanya memandang jaket itu tanpa ada niat untuk mengambilnya. Tessa tidak pernah menerima pertolongan dari siapapun jika tidak terhimpit, itu prinsipnya. Dan baginya, ialah yang harusnya menolong orang lain. Bagi Tessa, dunia terlalu baik untuk orang yang ada disekitarnya. Dunianya sudah hancur, ia hanya ingin membuat dunianya yang hancur bisa berguna untuk orang lain.
Tetapi, ada juga orang yang terang-terangan mengatainya terlalu naif, sombong, atau apapun itu yang hanya dibalas senyuman oleh Tessa.
"Cuma jaket, bukan sesuatu yang besar. Kasian tangan lo yang udah biru itu. Atau perlu gue pasangin?" Perkataan Dekho membuat Tessa langsung menggeleng.
"Enggak, gue nggak kenapa-kenapa. Nggak perlu," ucapnya sambil kembali menyodorkan jaket Dekho kearah pemiliknya.
Dekho berdecak sebelum berdiri dari tempat duduknya, mengambil jaketnya dalam sekali sentakan, lalu melangkah kearah Tessa yang duduk diam dan memakaikan jaket itu cepat-cepat.
Tessa diam saat Dekho mendekatkan dirinya untuk memakaikannya jaket. Tidak ada kata-kata yang mampu keluar dari mulutnya. Karena jujur, Tessa baru mengalami hal ini sekali seumur hidupnya dan ia juga tidak mampu untuk mengendalikan suasana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memoria | End
Teen Fiction[Complete] "Makasih, lo udah mau jadi bagian memori gue." Mari bertemu dengan Tessa, gadis dengan sejuta tanda tanya. Mari bertemu dengan Seva, cowok paling ngeselin yang pernah Tessa kenal. Tessa mempunyai rahasia tersendiri mengapa ia mau membantu...