Surabaya, 15 DesemberHari ini hujan, ya? Nggak kerasa udah penghujung bulan. Nggak kerasa juga kalau sudah berpuluh-puluh kenangan yang aku ukir di dunia. Mungkin ini yang terakhir kalinya aku menulis disini. Setelah itu, mungkin aku akan disibukkan dengan berbagai tumpukan soal yang hm ... membuat pusing tujuh keliling.
Dan juga, mungkin ini menjadi akhir dari cerita ini. Akhir yang mungkin berbeda dari yang kau bayangkan. Atau ... kau sudah mengiranya dari awal.
Saat aku menulis ini, ada sebuah kata yang hendak aku ucapkan. Namun sulit. Tentang rasa sayang dan rasa sakit yang begitu tipis. Tentang bagaimana aku menjalani hidupku. Kuharap, kau tidak lelah membacanya, karena pada kenyataannya aku pun lelah dalam memahami hidupku.
Sejak kecil, aku tidak langsung terlahir sebagai seseorang yang tangguh. Sebelum kematian Mama, aku masih sangat manja dan rewel. Kata Ayah, aku itu nyusahin tapi gemesin! Aku sebel, tetapi setelahnya, aku tertawa karena Ayah mencium pipiku dan bilang aku adalah anak yang paling cantik yang pernah ada.
Mama ... banyak kenangan dari beliau yang tidak bisa aku ceritakan. Tetapi, karena sedari kecil, aku sudah dihadapkan pada fakta bahwa Mama tidak ada di sampingku, aku terlahir menjadi gadis yang 'iri' pada teman-temanku yang membawa Bunda mereka ke sekolah saat acara apapun.
Aku selalu menangis di pojok ruangan. Menangisi takdirku yang begitu kacau. Mama pergi dan Ayah menjauh. Aku tak punya pegangan. Sedangkan aku masih sangat labil. Kepergian Mama menjadi suatu tragedi besar yang membuat hidupku menjadi tak tentu arah.
Untuk Nadh yang membaca bagian ini, sori sudah bohong kalo aku pernah bawa-bawa nama Mama saat lo di kedai sama Seva. Sori bangetttttt. Itu karena aku nggak punya alasan yang logis lagi.
Dan tentang hidup...
Aku tahu semua orang pasti memiliki banyak kekurangan dan kelebihan masing-masing. Seva dengan matematikanya, Nadh dengan puisinya, dan Dekho dengan jiwa tawurannya — ups! Bercanda. Dekho itu pintar kesenian. Dia punya banyak koleksi lukisan di tasnya. Sedangkan aku, dilahirkan dengan kekurangan yang 'kurang' bagi teman-temanku. Aku tidak bisa matematika saat kelasku mendapatkan predikat sebagai kelas matematika saat SMP. Hal sepele, memang.
Mulai sejak itulah sifatku berubah. Aku selalu mengeluh. Mengeluh pada keadaan. Aku tahu, harusnya aku berusaha. Harusnya aku berdoa. Tapi bukan itu yang aku lakukan. Aku hanya menangis, mengeluh, dan menyalahkan takdir. Aku sedih, karena merasa jika hidupku benar-benar sudah berakhir sejak saat itu. Merasa jika hidupku benar-benar hancur dan aku ... tak punya pegangan hidup.
Sebelum aku kenal dengan Dekho. Cowok yang selalu sarkastik kepada semua orang. Menarikku untuk bisa berinteraksi dengannya. Menjadikannya teman. Teman yang akan selalu kurindukan kehangatannya.
Hingga saat aku sudah bosan dengan kehidupan. Puncaknya adalah ketika Ayah terlalu sibuk untuk mengambil rapotku. Aku lunglai, sedih dan kecewa. Karena aku sudah berusaha mengukir nilai indah di rapotku. Dan terjadilah tragedi yang membuatku membuat perjanjian dengan Dekho. "Membuat Nadh bahagia."
Masa-masa SMA. Berhubungan dengan Seva. Alasan mengapa aku membencinya adalah karena kemampuannya. Semua orang terkesima dengan cetak nilai tinggi di matematikanya. Semua orang memujanya. Adakah alasan mengapa aku tidak merasa, iri?
Aku terlalu labil. Seharusnya aku tidak kembali menyalahkan takdir seperti sebelumnya. Seharusnya aku melihat ke depan, menyapa cowok itu dengan senyuman. Mengajaknya berteman dan kami akan berteman sampai sekarang. Namun, itu juga tidak kulakukan karena—aku terlalu kecewa dengan kehidupan.
Penyesalan selalu hadir di akhir, bukan?
Dan tentang penyakit ini. Aku syok, saat pertama kali dokter Julian bilang bahwa aku divonis penyakit jantung turunan. Aku tahu, Mama yang mewarisinya. Seharusnya aku sudah tahu dari awal. Dan aku akan memperbaiki semuanya. Sebelum keadaan menjadi seperti sekarang.
Tapi sekali lagi, itu tidak mudah bagiku.
Aku lebih memilih untuk mengumpulkan memoriku. Memori yang akan kubawa pulang nanti. Memori yang akan aku simpan. Tentang marah bersama Seva, tertawa bersama Nadh, dan marah pada Dekho.
Aku takut. Vonis mengatakan jika keadaanku sudah parah. Jantungku sudah bermasalah dan amat sangat terlambat. Tetapi aku juga masih punya harapan hidup. Seandainya begitu ...
Ayah, aku minta maaf telah membuatmu khawatir akhir-akhir ini. Aku akan selalu mengingat dimana kita menghabiskan satu hari di mall dan Ayah yang nekad memborong semua novel buatanku di toko buku. Aku akan mengingat rasa masakan Ayah. Akan kuingat selalu.
Untuk Nadh, Dekho, Seva, Karina, dan Luna. Terimakasih sudah menyumbang memori indah untukku...
Aku akan sangat mengingat kalian.
Untuk kamu yang membaca ini... majulah kedepan. Kamu masih punya masa depan yang akan cerah nantinya. Berhentilah mengeluh, jadilah dirimu sendiri. Biarkan semua berkata apa, jangan dengarkan. Jangan biarkan apa yang terjadi di masa lalu membuatmu hilang arah. Majulah dan temukan kebahagianmu.
Dariku yang berharap Tuhan tidak marah ...
Arnathessa Nakita
KAMU SEDANG MEMBACA
Memoria | End
Teen Fiction[Complete] "Makasih, lo udah mau jadi bagian memori gue." Mari bertemu dengan Tessa, gadis dengan sejuta tanda tanya. Mari bertemu dengan Seva, cowok paling ngeselin yang pernah Tessa kenal. Tessa mempunyai rahasia tersendiri mengapa ia mau membantu...