10) Memoria

52 8 0
                                    


Tessa masih terdiam memandangi jalanan dari kaca mobil. Diluar sana hujan mengguyur lumayan deras. Membuat pandangannya rabun karena percikan air yang mengalir pada kaca mobil. Lidahnya kelu, pikirannya kosong. Entah kenapa setelah mendengar jika Seva ternyata merupakan anggota salah satu geng membuat Tessa tidak bisa berpikir rasional.

Jadi selama ini Seva memang menyembunyikan identitas dirinya yang sebenarnya. Takut ada yang menyakiti orang tersayangnya, katanya. Hanya Tessa lah yang ia berikan kepercayaan untuk mengetahui rahasianya.

"Lagian kalo lo bocorin, gue bisa bikin hidup lo tambah runyam. Kita sama-sama untung."

Tessa tak habis pikir. Sama-sama untung yang dikatakan Seva tidak benar-benar menguntungkan baginya. Toh, Tessa juga nggak kepo buat ngerti apa rahasia terbesar Seva selama ini. Dia juga tidak berniat untuk membuat hidupnya yang berantakan semakin menjadi makin runyam. Berurusan dengan Seva memang membuat hidupnya tidak beraturan. Dari awal.

Karena dari awal, Tessa tahu rahasia terbesar Seva.

"Neng, langsung pulang atau mampir makan sebentar?" Suara supir didepan membuat Tessa hampir terpentuk kaca mobil.

"Eng-enggak, Pak. Saya makan dirumah aja."

Sopir itu nampak berpikir sebentar. "Dirumah sudah ada tuan, takutnya Eneng dimarahin sebelum makan. Kan, jadi nggak napsu gitu."

Tessa terdiam. Ia baru ingat jika malam ini Ayahnya sudah pulang kerumah. Hari Minggu. Dan karena inilah ia berada dimobil ini. Mobil kerja ayahnya.

"Tadi tuan sempet marah-marah juga pas denger kalo Eneng nggak ada dirumah," ucap supir dengan suara pelan.

Tessa mengangguk lalu tersenyum kecil. "Nggak pa-pa kok, Pak. Ayah emang gitu. Saya juga salah kenapa tadi nggak izin dulu."

Keadaan mobil kembali tenang seperti biasanya. Tetapi tidak dengan pikiran Tessa yang sudah melayang kemana-mana. Ayahnya memang sangat emosional sejak saat itu. Tetapi sikap overprotektifnya memang sudah ada sejak Tessa kecil. Setiap Tessa sakit, Ayah lah yang selalu nomer satu mengantarnya kerumah sakit tanpa bertanya sakit apa.

Dan kemarahan Ayah merupakan bencana bagi Tessa.

Tetapi ketika ia teringat jika ayahnya yang sekarang bukan lah seperti yang dulu, membuat Tessa tersenyum kecut. Takdir terlalu mudah membalikkan yang awalnya peduli menjadi acuh.

Mobil mewah itu sudah berjalan melebihi gerbang. Membuat Tessa langsung menegakkan dirinya. Gugup dan takut. Bahkan saat melihat ayahnya yang sedang berdiri tegap memandanginya dari depan pintu sambil membawa payung, Tessa mati kutu.

Setelah berhasil masuk kedalam rumah pun, Ayah masih diam. Tatapannya tajam memandangi Tessa yang hampir saja mengatakan jika ia kedinginan.

"Habis kemana aja kamu? Inget rumah, kan?" Pertanyaan mengintimidasi itu tiba-tiba keluar dari mulut ayah ketika Tessa hendak pamit masuk ke kamar.

Tessa berbalik. "Tessa capek, Yah."

"Kamu nggak akan capek kalau kamu nggak keluar rumah dari pagi sampai malam," sindir Ayah sambil duduk di sofa. Menatap Tessa seakan Tessa sudah melakukan sebuah kejahatan yang fatal.

Tessa hanya diam. Meremat tas-nya dengan kuat. Setelah memantapkan diri, akhirnya bibirnya mau berbicara. "Tessa cuma jalan, kok. Sebentar. Nggak ninggalin ayah selamanya."

"Jaga omongan kamu! Nggak ada yang ninggalin Ayah. Nggak ada." Ayah meremat pegangan sofa dengan erat.

Tessa berdecak. Ia tahu perbuatannya memang tidak sopan. Bahkan bisa membuat ayahnya menjadi marah besar. Tetapi kekecewaannya malam ini sudah berada diambang batas. "Terus, buat apa Tessa selalu ada dirumah kalo ayah bahkan nggak peduli Tessa hidup apa nggak. Tessa udah makan apa belum, Tessa kesepian atau nggak."

Memoria | EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang