29) Memoria

76 10 0
                                    


TESSA mengerjabkan matanya. Sunyi. Tidak ada yang berada di sekitarnya kecuali alat bantu penyokong kehidupan. Sudah tidak ada lagi alat bantu pernapasan, walaupun begitu, dadanya masih terasa sesak. Entah karena alasan apa. Yang ia tahu, ia tidak berganti ruangan sejak awal. Pertanda bahwa kondisinya, memang seburuk itu.

Hanya udara berbau obat. Sejak Mama meninggal, Tessa mulai membenci obat. Itulah alasan mengapa ia lebih memilih memakai koyo atau apapun itu untuk meredakan nyeri tubuhnya. Sementara ia akan membeli obat jika terpaksa dan akan menelannya bulat-bulat.

Kematian Mama memberi dampak besar pada Tessa. Terutama dalam dunia menulis. Mama terbiasa menulis diary dari dulu, dan menular pada Tessa. Tanpa sadar. Apalagi setelah kepergian Mama, hubungannya dengan Ayah semakin hari semakin renggang. Membuat Tessa tanpa sadar berlatih mandiri dan mengandalkan tulisan sejak awal.

Dan Tessa menjadi semakin ketergantungan. Melakukan apapun sendiri dan menuliskan segala kisahnya pada setiap ceritanya. Cerita yang mungkin, suatu hari nanti akan memberikan pesan kepada seseorang untuk tidak salah mengartikan kehidupan seperti dirinya.

Tessa tersentak saat pintu ruangan dibuka dari arah luar. Disusul dengan tiga orang yang masuk kedalam ruangan. Yang dapat Tessa simpulkan, ada perempuan diantara mereka.

"Loh! Udah bangun!?" Tessa tersenyum saat tahu perempuan diantara ketiga orang itu adalah Nadh. Gadis itu langsung membuka maskernya tanpa aba-aba dan nyaris berteriak jika bukan karena gertakan dari salah satu diantara mereka.

Tessa tersenyum. "Udah," jawabnya dengan nada pelan dan serak.

"Bagus deh," ucap Seva sambil membuka maskernya. Sementara salah satu diantara mereka masih diam terpaku tanpa bergerak sejengkal pun. Membuka masker pun tidak.

"Itu siapa?" tanya Tessa.

Nadh menoleh kearah Dekho. "Dekho, kembaran gue. Dia ikut kesini buat jenguk lo."

Tessa menoleh kearah Seva yang sibuk dengan dunianya, meneliti satu demi satu perabotan rumah sakit yang ada di ruangan Tessa. Sejak awal menjenguk Tessa bersama Nadh, cowok itu menunjukkan ketertarikannya pada dunia kedokteran berkat alat-alat yang memenuhi ruangan Tessa.

Namun, untuk kali ini Tessa tahu mengapa cowok itu sibuk dengan dunianya. Dekho ada di sekitar mereka. Dan Seva adalah ... musuh Dekho yang membuat cowok itu hampir tidak bisa berjalan selama satu bulan penuh.

"Udah baikan?" Nadh duduk di salah satu kursi yang berada di sebelah ranjang pasien. Matanya sarat akan kesedihan. Tessa mengangguk pelan. "Akun lo sekarang sepi, banyak sih yang tanya kenapa, gue coba jawab dengan bilang lo hiatus. Tapi lo bakalan sembuh dan balik nulis lagi, kan?"

"Dia nggak bakalan kenapa-kenapa. Dia bakalan baik-baik aja." Dekho membuka maskernya. "Jangan bertindak selayaknya dia bakalan nggak pernah buka aplikasi itu."

"Gue nggak bilang kayak gitu, Dekho!"

"Tapi cara bicara lo, seakan lo bilang gitu."

Tessa menggelengkan kepalanya. Dia ingat kalau dulu Dekho pernah bercerita, jika ia dan saudara kembarnya tidak pernah akur. Selalu ada percekcokan diantara mereka. Membuat Tessa sempat penasaran bagaimana rupa adik Dekho. Yang membuat Dekho hanya memutar bola matanya malas dan berkata acuh.

"Gausah kenal sama dia. Nanti lo ketularan nyebelinnya."

Pada saat itu, Tessa benci cewek nyebelin. Dia nggak mau kenalan sama seseorang yang nantinya, akan berakhir sama dengan ketiga teman kelasnya yang membulinya.

Namun setelah tahu bahwa saudara kembar Dekho adalah Nadh, Tessa tak lagi merasa bahwa ia tidak seharusnya mengenal Nadh. Malah, Tessa ingin mengenal Nadh lebih jauh.

Memoria | EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang