"Setidaknya, kepergianku bukanlah hal yang terlalu menyakitkan untuk ditangisi."*Memoria*
***
TESSA Tidak ingat apa-apa lagi selain pijaran lampu berwarna putih yang berada tepat di atas kepalanya. Ia mengedarkan pandangannya, menyapu kesegala arah dan hanya menemukan dirinya yang terbaring lemah dengan beberapa infus dan juga alat pembantu pernapasan yang menyelimuti hidungnya.
Sementara tidak ada satu orang pun yang berada di sekitarnya. Tessa hendak bergeser untuk menengok seseorang yang mungkin berdiri diseberang sana, tetapi nihil, pandangannya semakin kabur dan tubuhnya lemah tak bisa digerakkan. Air matanya meleleh, detak jantungnya berdetak tak karuan.
Seperti biasanya, Tessa segera meredakan isakannya. Bersamaan dengan datangnya dokter Julian dengan seseorang dibaliknya. Juga sama-sama memakai pakaian hijau dan masker yang membalut wajahnya. Tanpa membuka masker pun, Tessa tau siapa orang itu.
"Ayah," lirihnya. Walaupun suaranya lirih dan teredam alat bantu pernapasan, Tessa tahu Ayahnya pasti akan mendengarkan panggilannya seperti saat bersama Mama beberapa tahun yang lalu.
Ayah tidak menjawab. Diganti oleh dokter Julian yang nampak mengecek beberapa alat disekitarnya yang Tessa tidak mengerti. Tessa diam, lemah untuk sekadar berbicara.
"Ini semakin parah, jauh dari ekspektasi yang diharapkan. Saya akan segera mengurus jadwal operasi pada rumah sakit pusat," ujar dokter Julian kepada Ayah yang hanya diam membisu.
"Lakukan yang terbaik. Saya mohon." Mungkin seperti itulah yang Ayah katakan setelah beberapa detik hanya terdiam. Tessa mampu mendengarnya, namun tidak dengan menjawabnya.
"Aku nggak pa-pa, Yah." Hanya jawaban itulah yang bisa Tessa ucapkan dalam hati.
Setelahnya, dokter Julian pamit untuk mengurus berkas-berkas mengenai jadwal operasi Tessa. Tetapi Ayah masih berdiri disana. Tidak ada tanda-tanda Ayah akan memeluk Tessa seperti yang biasa Ayah lakukan kepada Mama.
Sejenak Tessa merasa jika Ayah benar-benar sudah marah kepadanya.
"Kamu jahat, Tessa." Ayah memelankan suaranya. Mungkin berharap jika Tessa tidak begitu mendengarnya dengan jelas.
Tetapi Ayah salah, Tessa mendengarnya dengan jelas. Sejelas bagaimana sakit hatinya karena perkataan Ayahnya barusan. Tessa sakit, jiwa dan raga. Tanpa sadar, air matanya menetes tanpa aba-aba. Akhirnya, Tessa hanya bisa menutup matanya. Mengecoh Ayah agar Ayah bisa mengatakan apapun yang ada didalam pikirannya tanpa ragu.
"Kamu tidak tahu, mengapa ayah selalu melarang kamu untuk menjadi anak yang tangguh saat kecil, tidak boleh menangis. Ayah selalu mengajarkanmu untuk tidak berdekatan dengan siapapun yang bisa melukai hatimu, berdekatan dengan hal yang bisa membuatmu menangis." Tessa dapat mendengar bagaimana suara Ayah bergetar.
Tessa tidak bisa menjawabnya. Bahkan dalam hatinya sekalipun. Jawabannya terlalu abu-abu. Tessa takut jawabannya tidak sesuai dengan apa yang ia pikirkan.
Ayah mengembuskan napasnya sebelum kembali berujar. "Karena kamu mempunyai penyakit ini, penyakit yang akan membuatmu sesak saat kamu menangis. Penyakit yang membuatmu tidak bisa bebas melakukan apapun, penyakit yang bisa membuatmu capek saat melakukan hal berat."
Tessa semakin merapatkan matanya. Air matanya mengalir lebih deras. Meskipun lirih, Tessa sempat menggumamkan kalimat. "Tessa pikir, Ayah sayang sama Tessa. Tapi ... ternyata Ayah hanya mengekang Tessa untuk terus bersama Ayah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Memoria | End
Teen Fiction[Complete] "Makasih, lo udah mau jadi bagian memori gue." Mari bertemu dengan Tessa, gadis dengan sejuta tanda tanya. Mari bertemu dengan Seva, cowok paling ngeselin yang pernah Tessa kenal. Tessa mempunyai rahasia tersendiri mengapa ia mau membantu...