"Dia yang mampu membuatmu tersenyum walau sedang sedih. Dia yang mampu membuatmu menangis saat bahagia. Dia adalah—sahabat sejati."
—Memoria—
SEBERAPA lama Tessa memandang jalanan, tetap saja pikirannya masih terbang kesana-kemari. Tidak ada yang mampu merasionalkan pikirannya. Tessa semakin murung dan semakin terjatuh kedalam lubang yang semakin gelap. Bagaimana ia masih terikat pada janji yang mungkin akan sulit ditepati manakala Seva bilang jika dia nyerah bikin novel pada bab pertama.
Jelas, Tessa tadinya merasa senang karena Seva mau untuk berusaha mendapatkan hati Nadh. Tetapi cowok itu terkadang merengek dan langsung bilang jika ia sudah putus asa. Padahal, menurut Tessa, Seva mempunyai otak kelewat encer untuk bisa membuat jalan cerita menarik.
"Lu kepikiran tentang Seva?"
"Gimana lo bisa tau?"
Adit mengendikkan bahunya. "Cuma nebak, karna lu asik liatin foto profilnya dia yang jelas-jelas foto sd."
Tessa cepat-cepat mematikan ponsel setelah sebelumnya mengecek apa yang terpampang jelas di layar ponselnya. Foto profil WA Seva yang menampakkan wajah kecil. Foto yang katanya Adit, foto sd-nya Seva.
"Lu keliatan nggak enak badan akhir-akhir ini, makanya gue nggak maksa lu buat ikutan lagi ke perguruan." Adit ikut memandang ke jalanan yang hampir sepi karena hujan mengguyur kota Surabaya dengan deras. Meninggalkan percikan air hujan pada jendela kafe.
Tessa menghempaskan tubuhnya kearah sandaran kursi. "Gue kayaknya udah nggak bisa ngelanjutin ini."
"Maksud lu?"
"Taekwondo. Gue udah sepenuhnya keluar dari sana."
Adit diam sambil tersenyum. Lalu mengangguk pelan seakan tahu apa yang sedang terjadi pada sahabatnya. Meskipun, Tessa tahu jika Adit khawatir setengah mati saat ia bilang jika ia sudah keluar dari dunia Taekwondo.
Karena Adit adalah satu-satunya yang setuju jika Tessa masuk kedalam perguruan Taekwondo. Masa lalu membuat Tessa membulatkan tekadnya untuk bisa menguasai ilmu bela diri. Untuk bisa melindungi dirinya sendiri, untuk bisa melindungi orang yang ia sayangi dan melindungi orang lain.
Tessa tidak ingin ada orang yang terjebak kedalam kehidupan yang sama dengan masa lalunya.
Dan Adit adalah orang pertama yang rela untuk menemani Tessa saat itu. Adit itu sahabat yang paling mengerti Tessa. Setelah Luna dan Karina, tentunya. Karena bagaimanapun juga Adit itu sudah menemani Tessa sejak mereka masih balita. Mama Adit adalah sahabat Mama Tessa. Membuat keduanya sering bermain bersama walaupun selalu diawali dengan pertengkaran sebelum akur sampai tidak mau diajak pulang.
"Cerita apa aja, walaupun lu udah nggak percaya lagi sama dunia. Gue bisa menjadi pendengar setia lu," ucap Adit sambil tersenyum. Wajah tegasnya berubah menggemaskan saat bibir itu tertarik berlawanan arah. Membentuk sebuah senyuman.
Tessa mengangguk. "Iya, gue tau."
"Terus tentang Seva, kapan lu bakalan cerita?"
Tessa mengetuk jari telunjuknya pada meja. "Ada saatnya gue bakal cerita. Tunggu aja kalo semuanya udah beres dan gue bisa tenang."
"Gue bakal buat perhitungan kalo Seva bikin masalah sama lu."
"Bukan salah Seva juga," ujar Tessa dengan sedikit tertawa kecil.
Adit menggeleng. "No no! Dia udah buat sahabat gue sampe liatin foto profilnya. Nggak ada ampun buat dia."
"Cerewet banget, sih," Tessa tertawa. "Tadi gue ngelamun."
KAMU SEDANG MEMBACA
Memoria | End
Teen Fiction[Complete] "Makasih, lo udah mau jadi bagian memori gue." Mari bertemu dengan Tessa, gadis dengan sejuta tanda tanya. Mari bertemu dengan Seva, cowok paling ngeselin yang pernah Tessa kenal. Tessa mempunyai rahasia tersendiri mengapa ia mau membantu...