9) Memoria

67 8 2
                                    


Tessa masih menggerutu kesal. Tetapi akhirnya ia terdiam karena melihat beberapa hiasan jalan yang menghiasi jalanan kota Surabaya. Beberapa kendaraan masih terbilang tidak terlalu padat saat motor Seva membelah jalanan dengan kecepatan tinggi.

"Lo beneran mau ngajak gue ke Taman Bungkul?"

"Nggak, ke Taman safari." Terdengar decakan sebal sebelum Seva menjawab dengan nada dongkol.

"Wah, ketemu saudara lo dong?"

Tessa tertawa terbahak-bahak untuk kesekian kalinya. Membuat Seva memperlambat kecepatan motornya. Bisa barabe kalau Tessa mengguncang motornya sampe nyungsep. Dia belum siap mati muda.

Dalam perjalanan dari kedai sampai taman bungkul memang terjadi percakapan garing yang diakhiri dengan Seva yang harus memperlambat laju motornya.

Tessa itu tipikal cewek yang berbahaya. Gerak dikit runyam urusan. Jadi untuk meminimalisir terjadinya kecelakaan di masa muda, Seva akhirnya bisa pasrah. Untung saja jalanan lumayan lenggang karena beberapa daerah disekitar taman Bungkul sedang diadakan car free day.

"Eh, itu ya tamannya?" Tessa menunjuk sebuah papan bertuliskan Taman Bungkul.

"Hm... agaknya lo belum pernah kesini."

Tessa nyengir. "Emang."

Awalnya Seva melongo tak percaya. Karena didalam novel yang ia baca tadi, jelas-jelas Tessa menjelaskan beberapa detail sudut taman dengan bahasa kiasannya. Tetapi akhirnya Seva bersikap bodo amat. Bukan urusan dia juga mau Tessa pernah kesini atau enggak.

Seva memarkirkan motornya. Membeli dua buah minuman dan menyodorkannya satu pada Tessa yang masih sibuk meneliti setiap sudut taman yang menjadi salah satu ikon kota Surabaya ini. Setelahnya, mereka berdua berjalan menyusuri taman. Tessa jalan didepan dan Seva menyusul di belakangnya sambil tertawa fokus pada ponselnya.

Mereka berdua akhirnya memutuskan untuk duduk di salah satu bangku taman. Beberapa pohon lebar menaungi keduanya dari dibelakang. Sekali lagi, bagi yang nggak tau status mereka saat ini mungkin sudah mengira jika mereka berdua merupakan pasangan dimabuk cinta. Padahal mah Big NO!

"Jadi kita disini cuma ngeliatin anak-anak kecil maen?" tanya Seva membuka percakapan saat melihat Tessa yang sibuk tersenyum sambil ngeliatin anak kecil yang lagi latihan sepatu roda. Wajah manisnya semakin manis dan gembul saat cewek itu tersenyum.

Manis sih, tapi resek! Pikir Seva dalam hati.

Tessa mengangguk tanpa sekalipun melepaskan pandangannya dari beberapa anak kecil didepannya. "Beri gue waktu sebentar. Gue mau liatin anak kecil itu dulu."

Seva mengalah, cowok itu akhirnya membuka ponselnya dan kembali mengerjakan soal dari file yang dikirimkan Pak Dirman untuk persiapan olimpiade besok.

Brak!

Suara lumayan keras yang menghantam tanah membuat Seva langsung memperhatikan sekitar. Disana. Terlihat Tessa yang berlari tunggang langgang menuju seorang gadis kecil yang terlihat menahan sakit dan hampir menangis karena terjatuh karena kursi roda.

Dengan sigap, Seva langsung mengambil sebuah plester dari dalam tasnya. Merogoh tempat yang biasa dijamah Papanya saat ia pergi mandi. Setiap pergi kemanapun, Papa selalu menyiapkan plester di tas Seva. Takut kalau Seva khilaf dan kejadian yang lalu terulang lagi.

"Adek nggak pa-pa? Duh, berdarah! Aduh... sini kakak bantuin. Cup cup... jangan nangis, ya?" Tessa mencoba untuk membuka sepatu roda yang terpasang di kaki gadis kecil didepannya. Wajahnya panik. Sementara matanya langsung tertumpu pada Seva yang tengah berlari kearahnya.

Memoria | EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang