"Sekuat apapun kamu, adakalanya takdir akan membuatmu merasakan kelemahan."
*Memoria*
HARI Ini Tessa terlihat lebih murung dari biasanya. Wajahnya tertekuk dengan pandangan yang kosong. Menatap kedepan dengan wajah pias. Sejak kelas belum dimulai sampai dengan bel istirahat terakhir, gadis itu masih saja menutup mulutnya. Bahkan sejak tadi, Luna dan Karina sudah berada didepan Tessa dengan membawa makanan kesukaannya dari warung burjo kantin sekolah.
"Tes, lo mau sampe kapan kayak gini terus? Cerita lah sama kita. Kita merasa nggak berguna banget jadi sahabat lo kalo kayak gini." Luna menyodorkan pempek kearah Tessa. Lalu kembali melirik kearah Karin yang masih tidak membuka suara. Tak tanggung-tanggung, akhirya sebuah cubitan semut mendarat mulus di lengan kenyal milik Karina. Membuat gadis itu mengaduh.
Setelah mendapat pelototan tajam dari Luna, Karina akhirnya membuka suara. "Iya, Tes. Lo nggak capek apa dari tadi diem mulu? Kita yang ngeliat aja capek, lho."
Masih sama. Tidak ada satu kata pun yang meluncur dari mulut Tessa. Seakan ada rem perekat yang membuat mulutnya tak dapat terbuka atau bahkan berbicara.
"Kalo lo masih diem, gue bakalan bilang ke Seva kalo lo udah nggak bisa bantuin dia lagi. Masalahnya ada sama dia, 'kan? Oke, yok, Rin! Kita cari Seva!"
Lengan Luna langsung dicengkeram oleh Tessa saat gadis itu hendak menggandeng Karina. Tessa tidak berbicara, sebuah gelengan kuat menjadi jawaban. Bahwa kali ini tidak ada kaitannya dengan Seva.
"Terus siapa?" tanya Luna. Pada akhirnya.
"Ini... tentang gue." Tessa menjawab dengan nada lirih. Tanpa sadar air matanya menetes. Membuat Luna langsung terperanjat dan Karina yang sudah pasti heboh sendiri.
"Astaga, Tessa! Lo kenapa?! Cerita sama kita!"
Tessa menggeleng. "Gue nggak bisa cerita sekarang."
Karin langsung duduk disebelah Tessa. Mengelus lengan gadis itu hingga membuatnya kembali tenang. "Apa yang lo rahasiain dari kita?" tanya Karina dengan nada lirih. Takut jika seisi kelas heboh karena berita Tessa yang tiba-tiba nangis.
Tessa dikenal sebagai cewek yang anti nangis, anti baper walaupun semua novelnya bisa bikin baper tujuh hari tujuh malam, dan juga anti mengeluh. Selalu bersikap bodo amat. Semacam tomboy. Dan jelas, Tessa yang saat ini berbeda dengan Tessa yang dipandang oleh teman-temannya.
Tessa menggeleng. Menyeka air matanya sebelum kembali tertawa kecil. "Kalian kalo khawatir lucu, ya? Gemes pengen nyubit."
Luna yang tau kalau Tessa sedang mencoba untuk mengalihkan topik pembicaraan akhirnya berdesis. Tessa selalu begini ketika berada dalam masalah. Entah itu masalahnya dengan pelajaran matematika, atau dengan Ayahnya. Ayah... nya.
"Lo nggak ada lagi masalah 'kan, sama Om Andre?" tanya Luna dengan mata memicing. Seolah memberi desakan Tessa agar mengatakan yang sebenarnya. Namun berhasil membuat Tessa menjawab walau dengan suara serak.
"Awalnya, tapi sekarang masalahnya ada di gue."
"Lo musuhin Om Andre?" Oke, pertanyaan itu meluncur dari Karina yang langsung dijawab pelototan oleh Luna. "Kan gue cuma nanya doang, Luna."
Luna memutar bola matanya. Lalu kembali memusatkan perhatiannya pada Tessa. Yang lagi-lagi sedang melamun. "Tessa. Kalo ada masalah apapun, lo cerita sama kita. Bukan berarti kita pengen ikut campur urusan lo, tapi kita berhak tau karena kita sahabat. Jangan cuma kita yang selalu cerita panjang lebar dan lo mati-matian jawab keraguan kita di sebuah novel. Kita juga pengin lo cerita apapun. Pengen denger apa yang lo suka hari ini, apa yang lo pengen lakuin, apa yang lo rasain."
KAMU SEDANG MEMBACA
Memoria | End
Teen Fiction[Complete] "Makasih, lo udah mau jadi bagian memori gue." Mari bertemu dengan Tessa, gadis dengan sejuta tanda tanya. Mari bertemu dengan Seva, cowok paling ngeselin yang pernah Tessa kenal. Tessa mempunyai rahasia tersendiri mengapa ia mau membantu...