20) Memoria

50 12 0
                                    


Hidup memang tidak sepenuhnya sempurna, tetapi ketidaksempurnaan itulah membuat kita belajar untuk mengukir hidup yang lebih baik

***

LIMA Belas menit lagi jam pulang akan berbunyi dengan nyaring. Sejenak membuat beberapa murid meluruskan punggung mereka dari beberapa beban berat tak kasat mata yang akan menghantui mereka begitu sampai di rumah nanti. Beberapa paket ujian menumpuk yang sudah siap dihajar habis-habisan begitu menginjakkan kaki pada ubin rumah.

Sedangkan Tessa masih sibuk memandangi beberapa angka dengan beberapa rumus yang sengaja diberi tanda spidol merah di papan tulis. Matanya tak berkedip, bahkan tangannya bekerja keras untuk bisa mencatat dengan rapi, walaupun akhirnya tulisannya tetap serampangan karena ngebut.

"Nulisnya biasa aja dong, Sa. Kayak dikejar setan aja," celetuk Karina sambil melirik kearah buku matematika Tessa. Lalu melotot lebar kala melihat ada tulisan disana.

Buku tulis itu dulunya merupakan buku yang tidak pernah Tessa isi. Bahkan buku yang kini Tessa pakai merupakan peninggalan jaman dia masih menggunakan kaos kaki warna-warni. Alias dari kelas sepuluh.

"Gue dikejar waktu ini. Takut nggak kecatet."

"Tumben."

Tessa nyengir. "Suasana hati gue lagi enak buat belajar."

Karina mencabik, namun pada akhirnya pandangannya meluruh. Gadis itu menyodorkan buku matematikanya kearah Tessa. "Nih, gue sempet nulis poin pentingnya. Lo pinjem gih daripada nganggur dirumah."

Tessa tidak berniat untuk mengambil buku matematika itu, pada awalnya. Tetapi ketika melihat wajah Karina yang kelewat hangat membuat Tessa memilih mengangguk dan memasukkan buku itu kedalam tasnya, sebentar lagi akan turun hujan jadi Tessa berniat untuk melindungi buku itu dengan menyiapkan jas hujan tasnya.

"Tasnya doang yang di jas hujanin, orangnya kagak." Suara itu berasal dari arah belakang tempat duduk Tessa, membuat Tessa dan Karina menoleh bersamaan.

Tidak ada yang menyadari dengan perubahan raut wajah Tessa yang awalnya berwarna menjadi murung.

"Kok lo ada disini?" Itu pertanyaan yang pertama kali ditanyakan oleh Karina, matanya menyipit sambil mendeteksi radar hitam dari berbagai sudut. Seakan bersiap untuk melindungi Tessa dari segala marabahaya. Cek-cok panjang sebelum pulang sekolah, misalnya.

Sementara Tessa hanya melirik Seva tanpa ekspresi. "Ngapain?" tanyanya dengan nada rendah.

"Yah, gue cuma pengen keluar kelas lebih cepet aja. Makanya gue ganti tempat duduk sama Bi--"

"Bukan itu," sergah Tessa cepat. Membuat Seva menaikkan satu alisnya keatas dengan pandangan bertanya.

"Maksudnya?" Seva bingung. Jawaban tadi tidak salah. Setidaknya, Seva masih menjawab dengan santai.

Sementara Karina yang berada diantara mereka hanya menunjukkan wajah cengo. Tessa memang akhir-akhir ini berubah, bukan, dia memang sudah berubah semenjak mulai mengajari Seva untuk membuat sebuah novel. Atau apalah itu yang membuat mereka berdua memang seperti terlahir kembali tanpa status musuh yang semula tersemat diantara keduanya. Tetapi entah kenapa, Karina sangat yakin jika Tessa tidak menyimpan perasaan apapun pada Seva seperti yang Luna pikiran sejauh ini. Tessa berbeda, jauh lebih aneh dibanding sebelumnya.

"Lo ngapain ikut campur gue pake jas hujan apa enggak?"

Tessa memang menjawab atau bisa dikatakan bertanya dengan nada tenang, tetapi wajahnya tidak mengatakan demikian.

Memoria | EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang