PTA (2)

12 1 0
                                    

Saat kegiatan itu, dimana ketika siswa dan siswi digabungkan dalam satu lapangan, ntah untuk senam dan lain sebagainya, jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya. Aku memang masih bisa mengingat semuanya, atau bahkan masih bisa untuk merasakannya saat ini. Kami yang saling curi pandang dan pura-pura bersikap cuek, tapi ternyata masih ada beberapa kesempatan yang membuat kami berada dalam satu pandang. Ah malu rasanya.

Aku yang tak dapat mengikuti halang rintang, karena sakit perutku yang tak dapat dikompromi, membuatku hanya menunggu didalam tenda dengan rasa sunyi. Ketika suasana sekolah kembali ramai dengan suara riuh dan lelah para peserta lainnya, yang juga menandakan bahwa kegiatan itu telah selesai terlaksana.

Waktu itu, setelah halang rintang, aku melihat dia dari balik tenda, dengan kakinya yang tidak bisa berjalan seperti biasanya. Melayang beberapa pesan singkat yang saling berinteraksi, katanya memang kakinya terluka, ada pecahan kaca yang menusuk kulit dan merobeknya.

"Ril, aku liat tadi kamu jalannya gitu, kenapa?"

-iya kaki aku sakit, tadi pas disuruh lepas sepatu, terus matanya ditutup dan masuk ke lumpur gitu ternyata ada pecahan kaca, dan nusuk kaki aku-

"ih yaampun ko bisa? Udah dikeluarin pecahanya? Udah diobatin? " tanyaku penuh hawatir.

-udah keluar sih, tapi belum diobatin. Biarin ajalah, luka kecil ini-

"hemm, kamu terlalu menyepelekan"

-aku tadi ngga liat kamu. Kemana?-

"iya, perut aku sakit. Jadi ngga bisa ikutan. Sekalian deh jaga tenda"

-udah makan?-

"udah tadi pagi"

-kantin yuk-

"ngapain? "

-ya makan lah-

"aku belum laper lagi"

-temenin aku makan, plis-

"ooh. Ok. "

Kami bertemu di kantin, untuk sekedar makan siang, nasi goreng Mama Tyas. Sebenarnya kala itu tidak terlalu lapar, tapi siapa yang bisa menolak ajakan yang diberikan oleh orang yang kita suka.
Aku melihat kakinya yg terluka. Namun aku yang tak memiliki P3K pun tak dapat berbuat banyak. Makan berdua di kantin dengan kondisi yang ramai membuat orang-orang terutama teman kelas mengendus kedekatan diantara aku dan Azril.

Malamnya, malam Minggu, malam puncak, 23 agustus 2014. Saat itu adalah malam api unggun, akan disatukan di lapangan belakang lagi bersamanya, degup kencang itu terjadi lagi ternyata. Saatnya baris dan berjalan mengantre menuju lapangan belakang, disana membuat sebuah lingkaran besar.
Malam yang berkesan, rasanya indah sekali dan sangat sulit untuk terlupakan. Banyak yang menunjukkan keahliannya dalam bermain alat musik dan bernyanyi. Kala itu lagu yang sangat menyentuh adalah pelangi di matamu dan sepanjang jalan kenangan. Ah lagu yng cukup lawas untuk usia kami, tapi ntah mengapa merasa pas.
Dalam suasana hangat,redup, dan cerahnya langit, mata ku berputar mengelilingi orang-orang yang ada disana. Ya pasti tujuanku cuma satu, agar bisa melihatnya, untuk sekedar tersenyum sendirian, atau terpaksa menyapa kalau kalau terjadi tragedi saling pandang. Sayangnya cahaya api unggun tak cukup terang untuk mempertemukan kita pada satu pandangan.
Hingga pada saat semuanya harus kembali ke tenda pun, aku hanya memikirkan dia, bagaimana dengan kondisi luka di kakinya, dan segala pikiran tentang dia. Rasanya, aku semakin suka kepadanya.

usangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang