Rumah Bude (2)

15 1 0
                                    

Sekolah ku jalani seperti biasanya. Layaknya sebuah siklus yang terus terulang dan berputar.
Meskipun menjalin hubungan dalam satu kelas, Aku dan Azril tak pernah terlalu saling menggantungkan. Dalam keseharian, aku asik dengan teman-teman perempuan ku, begitu pula dengan Azril yang asik dengan teman kelas laki-laki juga games yang sudah menjadi hobby sejak usianya masih lima tahun, atau sekitar 11 tahun yang lalu.

Hanya jika ada waktu yang benar-benar luang saja untuk bersama, atau mengobrol via telepon di malam hari jika memang benar-benar senggang.

Oh iya, mengenai tugas prakarya kemarin, hari ini sudah selesai kata Bude. Azril mengajakku untuk mengambilnya, hanya berdua. Karena Ifah dan Dea ada kegiatan lain sehingga tidak bisa ikut serta.

Kali ini bukan dirumah Bude yang kemarin, tetapi di rumah Bude yang lain dan tidak jauh dari sekolah. Jadi, Aku dan Azril bisa menjangkaunya dengan jalan kaki saja.
Tak lupa aku mengabari Bapak, bahwa hari ini pulang lebih sore dari hari biasanya karena harus mengambil tugas.

Sepanjang jalan yang mungkin kelak kan menjadi kenangan, aku dan Azril tak lepas dari bercanda. Seolah sedang mengukur berapa jarak yang harus ditempuh, atau sebenarnya sedang mengukur sedalam apa bahagianya rasa. Ntahlah.

Jujur sebenarnya aku lelah, tapi bagaimana mungkin aku bisa mengeluh ketika bersamanya. Konon, saat jatuh cinta yang dirasakan hanya bahagia, terlebih ketika memang cinta itu terbalas. Lebay.

Belum sampai di tujuan, ada yang memanggil Azril. Ternyata itu Bude, yang sedang meminta bantuan tetangganya untuk menjahit tas. Karena mesin Bude tidak bisa berfungsi secara normal. Rasanya tidak enak hati, terlampau merepotkannya, tapi Bude malah merasa senang.

Aku kembali bersalaman dan berkenalan dengan Bude. Bude sudah paham bahwa Aku dan Azril berpacaran. Bude juga menceritakan tentang dulu ketika zamannya SMA, dengan satu almamater yang sama dengan kami saat ini. Menambah bahasan dan pengetahuanku tentang latar belakang keluarga besar Azril.

Saat tas itu selesai dijahit, kami langsung langsung ke rumah Bude. Hari sudah cukup sore, sudah lebih dari pukul empat.

Di rumah, ada Pak De juga disana. Aku dan Azril segera melakukan sholat Ashar, dan kembali berbincang ketika selesai. Tentang sekolah, tentang tugas. Aku seolah diterima dengan penuh keakraban.

Hari semakin sore, aku harus segera pulang. Pak De bertanya dimana rumahku, lalu mengantarkan ku dengan motor merahnya. Di perjalanan, Pak De membubuhiku dengan obrolan dan beberapa nasihat.

"Kei maaf ya, Pak De ngga bisa nganterin sampe rumah, cuma bisa sampe sini" Pak De mengantarkan ku sampai jalan raya agar aku bisa mendapatkan angkutan umum.

"ngga papa Pak De, maaf ya Kei ngerepotin. Padahal mah jalan kaki juga ngga papa. Makasih banyak Pak De" jawabku, dengan masih adanya rasa canggung dan grogi yang ku sembunyikan dari awal bertemu.

Pak De masih tetap menunggu ku sampai mendapatkan angkutan umum, dan memastikan aku dalam situasi yang aman.

"Cape jalan kaki mah, lama juga. Kan biar cepet jadi dianterin" tambahnya.

"iya Pak De, hehe"

Ketika angkutan datang, Pak De menghentikannya. Aku bersalaman sebagai tanda pamit kepadanya.

"ati-ati ya pulangnya, salam buat keluarga dirumah" pesan Pak De.

"Iya Pak De, sekali lagi terima kasih ya Pak de. InsyaAllah nanti Kei sampaikan. Pak De juga hati-hati. Assalamu'alaikum".

"Wa'alaikumsalam"

Laju roda membuat jarak. Mengakhiri kesan dengan dia beserta keluarganya di hari ini.

"Ril, aku udah sampe rumah. Makasih ya untuk hari ini. Kamu pulangnya hati-hati. Makasih juga atas setiap respon baik keluarga kamu. Aku sayang kamu. "

Satu pesan ku kirimkan ketika penat terlepaskan disebuah bangunan yang kerap disapa rumah.

usangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang