Rumah Bude (1)

10 1 0
                                    

Banyak tugas yang aku kerjakan bersama dengannya, salah satunya adalah prakarya wirausaha. Satu mata pelajaran yang menuntut untuk menjadi aktif, kreatif, dan berjiwa wirausaha.

Dunia semakin pesat katanya, dan kita harus bisa menciptakan lapangan pekerjaan minimal untuk diri kita sendiri.
Mari beralih, Pak Hendra selaku guru memerintahkan kami membentuk kelompok. Seperti biasa, kelompok terdiri dari empat orang, dan harus bercampur antara laki-laki dan perempuan.

Aku diajak oleh dua temanku, Ifah dan Dea untuk bergabung membentuk kelompok, dengan hubungan yang telah diketahui mereka, mereka mengajak pula Azril. Berarti, satu mata pelajaran lagi yang menyatukan aku dan Azril dalam satu kelompok.

"eh cuy, nanti hari Minggu kerja kelompok ya. Nanti jangan lupa bawa kain perca nya, minta ke tukang jahit pasti banyak ko" ajak Ifah ketika kami berempat membahas tugas yang diberikan oleh pak Hendra, membuat kerajinan dari kain perca atau kain sisa.

"ayo kerkom. Di rumah aku aja ya yg strategis" timpal Dea.

Rumahnya memang yang paling dekat dengan sekolah, terhitung ditengah-tengah. Dibandingkan dengan rumahku yang terlalu barat, rumah Ifah yang terlalu selatan, dan rumah Azril yang terlalu utara.

"okay hari Minggu. Jam 8 aja ya, biar ngga terlalu pagi atau terlalu siang. Tapi jangan ngaret. Gimana Ril?" aku menyambung bahasan, sekalian melempar tanya kepada Azril yang sedari tadi hanya diam menyimak.

"iya aku ikut aja, terserah para cewek-cewek deh. Cowo sendiri mah apa daya" dia tampak menggerutu namun diiringi dengan nada candaan.
Sontak kami semua tertawa. Yang mendominasi memang yang menguasai, seperti hukum alam memang. Haha.
--------------------------------------------------

Hari ini, aku memakai long dress berwarna ungu, lengkap dengan jilbab motif warna senada. Dengan ransel dan sekantong kain perca, aku berangkat dari rumah menaiki angkutan umum seperti biasanya.

Dikarenakan rumah Dea harus masuk ke dalam jalan yang lebih kecil, akhirnya aku turun di persimpangan. Ku lihat Dea telah menunggu dengan sekantong makanan ringan untuk menemani kegiatan kerja kelompok hari ini.

Sampai dirumah Dea, Ifah dan Azril masih berada dalam perjalanan, ada waktu luang bagi aku dan Dea untuk menyiapkan peralatan jahit yang dibutuhkan. Dan setelah semuanya hadir, kami memulai menjahit.

Kain perca yang kecil-kecil harus disatukan agar bisa menjadi lembaran kain besar, dan dibentuk pola menjadi tas. Tapi akhirnya kami menyerah, karena itu bukanlah hal yang mudah dan harus menghabiskan waktu yang lama.

Azril menelepon Mba Yasyfa, bertujuan meminta tolong agar kain ini dijahit menggunakan mesin milik Bude saja, agar lebih mengefektifkan waktu dan tenaga.

"Mba, Bude ada dirumah ngga?"

---

"kalo mesin jahit dirumah jadi? "

---

"ini Azril kan ada tugas prakarya, suruh bikin kerajinan dari kain perca. Tapi kain perca kan kecil² jadi harus dijait dulu. Masa mau manual, lama lah. Jadi mau minta tolong buat dijaitin sama bude aja disana."

---

"yaudah iya Azril kesana ya sama temen-temen. Sama Kei juga. "

Setelah adanya kesepakatan, kami berangkat ke rumah Mba Yasyfa. Dengan angkutan umum yang cukup padat di hari itu. Maklum, hari Minggu. Adanya pasar tumpah yang menjadi penyebabnya.

Aku, Ifah dan Dea dibawa ke sebuah rumah besar nan sederhana ala milik tentara, dan memang ada dokumentasi keluarga besar didalamnya.

Dengan halaman yang luas dan dilindungi pohon mangga, membuat rumah itu terasa teduh.

Kami semua bersalaman dengan Bude, atau Uwa nya Azril. Tak lupa Mba Yasyfa mengenalkan aku kepada Bude, memberitahukan bahwa aku lah gadis yang menjadi pacar keponakannya saat ini.

Aku kembali disambut dengan kehangatan oleh Bude nya, dengan segala kelembutan dan sikap baik setiap keluarganya.

Sebenarnya disana kami hanya seperti tamu yang berkunjung, bukan yang hendak ingin mengerjakan tugas.
Kain yang kami bawa diserahkan sepenuhnya kepada Bude.

Matahari berada diatas namun telah condong ke arah barat, tanda jatuhnya waktu dzuhur.
Azril, aku, dan Ifah melaksanakan sholat tanpa Dea.

"jamaah ajalah, biar dapet pahalanya lebih gede hehe" kata Ifah.

"yaudah sok kamu jadi imam, aku gamau" jawabku.

"ih ya gamau lah. Ga bisa aku. Itu tuh si Azril aja" tambahnya.

Karena kebetulan saat itu Azril lewat pasca mengambil air wudhu.

Akhirnya, kita bertiga sholat berjamaah. Teduhnya rumah Bude semakin terasa dengan suasana yang terjadi saat ini.

Ku dengar Bude memanggil karena telah mempersiapkan empat mangkuk bubur ayam yang khusus disajikan untuk Azril, Dea, Ifah, dan Aku.
Namun panggilannya terhenti ketika melihat kami sholat.

Usai sholat, kami makan dan membahas tugas dan memberikan penjelasan kepada Bude.

Kata Bude, kain itu tidak bisa diselesaikan hari ini, karena memang membutuhkan waktu untuk menjahitnya. Terlebih kain yang kami punya adalah kain yang benar-benar minim, jadi harus diambil beberapa hari lagi. Akhirnya, kami pulang dengan mempercayakan tugas itu kepada Bude.
Terima kasih Bude.

usangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang