SEBUAH SUDUT

83 0 0
                                    


Berjalan menjadi bagian hidup yang tiada aku mengerti. Menuju kehidupan yang tidak tahu ujungnya. Semesta mengirim sebuah nadi kehidupan bodoh. Aku melangkahkan kaki tanpa menoleh ke samping kanan ataupun kiri bahkan tidak ke depan atau belakang.

Awan mendung menandakan akan turun hujan. Sebuah simbol kehidupan yang baik aku rasa. Koridor ini menjadi sepi sunyi seiring dengan tetes air mulai membasahi pelataran kehidupan. Sebuah senyum di dalam sana, menarik aku untuk masuk.

"Kamu, apa kamu bodoh?," sebuah teriakan terdengar indera pendengaran. Suara itu tepat dibelakang tanpa ada bentuk. Aku seperti manusia tanpa jiwa nyata.

"Berhenti." Aku menghentikan langkah kaki menuju kehidupan itu. Sebuah tangan menarik lenganku.

Seseorang itu mendudukan aku di sebuah bangku. "Kani, kamu tidak lihat sedang hujan?," dia menghembuskan nafasnya sejenak. "Kamu jangan seperti orang gila deh, sudah tahu sedang hujan tetap saja keluar."

Aku tersenyum mendengarnya. Andaikan aku masuk kehidupan lain, bukan seperti ini ceritanya. "kenapa kamu tersenyum seperti itu?," dia mendudukan tubuhnya disampingku.Tanpa menjawab, aku menggenggam jemari tangannya.

"Apa kamu tidak pulang bersama pacar mu?," aku bertanya menatap kedua matanya. Disana aku menemukan kehidupan yang lain.

"Tidak, aku ingin pulang bareng kamu."

Perlahan aku melepaskan genggaman itu. Kebebasan sebuah kehidupan pasti ingin tangan itu rasakan. Semuanya menjadi sunyi kembali, aku merasakan dua sudut yang berbeda.

"Ayo kita pulang," aku mengulurkan tanganku, dia meraihnya. Kehangatan yang selalu aku harapkan. Hanya untuk ini aku tidak bisa merasakan apapun dengan yang lain.

Kehidupan saat ini seolah menahan aku untuk keluar dari tekanan. Kenyataan yang tidak dapat aku terima sepenuhnya. Aku ingin menjalani kehidupan yang lain dengan dia.

Aku menjalankan mobil dengan sangat pelan. Bumi manusia ini terlalu indah untuk tidak aku ciptakan. Terkadang aku melupakan kenyataan aku bukanlah hal istimewa. Hanya saja aku ingin menjadi orang lain dengan kehidupan yang lain. Kota ini menjadi sangat sepi, seperti ditelan kegelapan, aku tidak melihat seorang pun melintas. Jalanan yang biasanya ramai menjadi sepi. Ah, masa bodoh.

"Kamu langsung pulang Shan?," tidak ada jawaban. Ternyata dia tidur dengan nyenyaknya. Hujan ini membuat dia terlalu nyaman menjalani kehidupan yang aneh bagiku.

Aku memberhentikan mobil di sebuah taman. Sebelum turun, aku mengambil payung hitam di kursi belakang. Perlahan namun pasti aku keluar meninggalkan Shani yang masih terlelap.

Seperti taman Eden saja. "Apa kamu pernah kesana?," aku mencari sumber suara tersebut. Terlihat seorang disana dengan kacamata baca dan topi terlihat kering tidak basah. "Apa maksudmu? Dan siapa kau?," tanyaku yang masih berdiri dengan bingung.

"Aku adalah utusan dari seseorang yang sedang menunggu kamu," jawabnya berjalan mendekat. "Siapa? Darimana asal mu?," kembali aku bertanya dengan tenang. "Seseorang yang selalu kau inginkan. Aku berasal dari kehidupan yang lain."

"Tidak perlu bingung seperti itu, mari ikut aku." Lagi tidak ada penolakan, aku mengikuti dia dengan patuhnya. Dia duduk di sebuah bangku taman. "Duduklah," pintanya.

Aku pun duduk. Dia menceritakan hal-hal yang sangat tidak penting untuk aku dengarkan. Seolah menjadi bodoh tanpa beranjak dari kursi ini. Kesadaran mulai luntur seketika. Kehidupan dan dunia ini berubah begitu cepatnya.

OTOKRITIKWhere stories live. Discover now