HILANG

26 1 0
                                    

Seseorang yang ingin terlihat atau dianggap menyenangkan untuk orang lain. Sampai di titik perpisahan dan tinggal kenangan.


            Kehidupan banyak memilki makna. Tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Setiap orang memiliki pendapatnya sendiri dengan latar belakang yang berbeda juga. Kupu-kupu itu pun memiliki pandangan sendiri terhadap hidupnya. Langkah kaki dalam kehidupan akan menjadi sebuah kenangan yang tidak mungkin kembali lagi. Semuanya akan pergi, menghilang secara perlahan.

            Ada banyak perubahan yang aku lakukan dalam hidup ini. Semua berubah secara natural hanya untuk sebuah pengakuan belaka. Sebagai sosok manusia yang lebih berguna dan tidak dipandang kasihan. Aku bahkan tidak mengenal siapa diriku sendiri.

            Di bawah pohon rindang kamu tersenyum. Indahnya senyum manismu dalam mimpiku. Begitu menyejukan. Entah aku tidak bisa mendeskripsikan dengan kata-kata. Kau bukan hanya sekadar indah, manusia yang terlalu cantik.

            Aku kini sedang berkumpul dengan orang-orang yang selalu tertawa. Kelakuan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Sampai aku merasa terlalu asing dengannya. Begitu jauh berbeda dengan sifat yang aku miliki. Namun, aku harus masuk ke dalam lingkungan itu dan mengikuti hal-hal yang lain.

            “Anjir, kok lu sekarang berubah Din?” Rahma pantas bertanya seperti itu. “Sok asik haha.” Aku tahu itu hanya sebuah bercandaan, tidak penting untuk dimasukan hati.

            “Bodo amat dong, suka-suka gua.” Yang lain hanya melihat saja dan tertawa ringan. Aku tenggelam dalam lautan yang tidak tahu dasarnya. Mengikuti arus bawah laut. Menikmati ikan-ikan kecil yang lucu namun menakutkan.

            Rasa sakit yang tiba-tiba muncul sangat mengganggu rasa nyaman ini. Menghilangkan diri dalam keramaian. Aku menutup pintu kamar mandi dan mengambil beberapa butir obat untuk menghilangkan rasa sakit. “Penyakit sialan.” Aku menatap lemah diriku dalam cermin. Sebuah banyangan yang sangat aku benci. Tubuh ini sangat lemah. Aku merindukan diriku yang dulu.

“Kamu,” aku menunjuk dia, “Apa yang akan kamu lakukan dengan tubuh bodoh ini?” aku tertawa sinis. “Bodoh.”

Kaki ini terus melangkah dengan sebuah harapan yang baru. Keinginan untuk bermetamorfosis menjadi manusia lain. Menjadi manusia yang mengungguli dirinya sendiri. Namun, kerikil-kerikil kecil mengganggu setiap langkahnya. Kerikil itu dengan bodohnya dibawa dan menjadi senjata yang ampun untuk melumpuhkan. Memicu sebuah api dalam diri sehingga melelehkan es yang dingin.

Aku mencoba menenangkan diri dan menghindari dunia yang selama ini aku jalani. Berpaling sejenak, hanya untuk sementara. Kupu-kupu itu berterbangan di taman bunga. Bukan sesuatu yang luar biasa, bahkan aku pikir itu hal yang sangat biasa. Aroma pedesaan begitu terasa. Udara sejuk seolah menjadi obat yang paling ampuh.

“Kenapa kamu keluar disaat yang tidak tepat?” aku mengambil tissue dari saku hoodie. “Berikan aku waktu sebentar saja untuk menikmati semesta ini.” Rasa pusing mulai aku rasakan. Aku melangkahkan kaki menuju rumah sederhana. Sebuah rumah yang selalu aku rindukan. Kehidupan yang dulu membuat aku tertawa lepas tanpa adanya beban.

“Neng, sudah di minum obatnya?” Oma menghampiri aku dan ikut duduk di halaman rumah. “Sebentar lagi Oma.” Pundaknya adalah tempat ternyaman. Jemari yang kini banyak kerutannya mengelus rambutku dengan lembutnya. “Kehidupan tidak ada yang abadi, semua orang tidak berkewajiban baik kepadamu. Maka jagalah orang yang baik kepadamu.”

“Kita tidak ada yang tahu kapan kehidupan akan berakhir di dunia ini. Kamu jangan terlihat lemah di depan orang lain apapun yang dirasakan.” Oma memang selalu mengerti apa yang aku pikirkan. “Tapi, jangan lupa untuk mengabari orang-orang.” Benda persegi panjang itu terlihat tak berguna dan musuh bagiku.

OTOKRITIKWhere stories live. Discover now