PENARI

44 0 0
                                    


Kau hanya menikmati sisi penampil bukan penampilannya. Sebuah mawar merah melebur dengan semesta.

-Shani Nindia-

Pintu ini mengawali kehidupan kedua bagiku. Sebuah nafas yang menjadi nadi dalam hidup. Gejolak yang tiada hentinya menggerakan tubuh. Lekuk tubuh dengan lenturnya bergerak mengikuti roh. Menikmati setiap irama yang terdengar oleh panca indera. Rasa semakin tidak ada puasnya membuat aku melupakan dunia pertama.

Kulit kaki menyatu dengan lantai panggung. Bersatu dan saling bercumbu untuk menikmati kehidupan yang penuh dengan imajinasi. Mawar merah bertebaran menemani aku disini. Betapa indah mahkota bunga itu, lembut. Keindahannya sangatlah berharga. Duri tumbuh ditangkainya untuk melindungi mahkota itu. Tapi tetap saja dia akan kalah oleh jiwa-jiwa tak berperasa.

Aku terus menggerakan jiwa mengikuti irama musik. Musik itu membuat aku semakin hidup. Mengobati rasa dahaga yang tidak pernah hilang. Kini hanya terdengar suara tepuk tangan. Aku tersenyum melihat air muka mereka. Langkah kaki meninggalkan sementara dunia kedua dan sang mawar.

"Tarianmu memang indah, tapi tidak dengan parasmu." Kata-kata itu begitu mudah diucapkannya. Gadis itu menuju panggung tanpa melihat aku lagi.

Aku hanya menggelengkan kepala, tidak terlalu ambil pusing. Tiada kesempurnaan yang nyata dalam kehidupan. Seperti gulali hanya sebuah tipu daya untuk menarik pembeli. "Lihatlah wajahmu memang tidak seindah dia. Sebuah ketidaksempurnaan cinta." Aku berbicara dengan pantulan jiwa dan tersenyum kepadanya.

Ku bersihkan sisa make up yang sangat mengganggu kebebasan kulit. Mengganti pakaian yang memenjarakan gerak tubuh. Tapi aku sangat nyaman dengannya jika bukan di dunia pertama. "Shani, apa kamu mempunyai dua kepribadian?" aku hanya menanggapi dengan senyuman.

"Lihatlah Yona, tariannya memang tidak seindah dirimu, tapi parasnya sangat memikat penonton." Aku mengancingkan baju terakhirku. "Tidak terlalu penting bagiku sebuah paras."

Dia menepuk pundakku, "Kau juga cantik namun lebih cantik dia." Aku hanya menganggukan kepala. "Aku menghargai perkataanmu, tapi aku jauh lebih menghargai jika kau mengomentari tarianku." Dia hanya tersenyum, begitupun aku. "Baiklah, waktunya aku pergi. Dunia luar telah menanti." Aku mengambil tas dan melangkah pergi menuju dunia nyata. "Jangan lupa bayarannya kamu transfer." Hidup tidak terus-terusan serius.

Aku berjalan menikmati kehidupan yang tidak selalu indah. Alam semesta memberikan sesuatu yang tidak aku dapatkan sebelumnya. Berjalan mengikuti arah awan yang tidak tentu arah geraknya. Matahari mulai terbenam dan burung berterbangan kembali ke rumahnya. Bertemu dengan anggota keluarganya. Mereka menyapaku dengan kepakan sayap itu. "Terbanglah dengan bebas." Aku menarik nafas, merasakan udara segar.

Pensil ini bergerak mengikuti setiap pergerakan dunia. Menggoreskan luka tanpa nyata. Menghasilkan sebuah rasa yang berbeda ketika aku di panggung. Membuat sebuah harapan melewati setiap masa. Mengumpulkan benih kemudian tumbuh dan berbunga. Bunga itu bermekaran dengan indah dan burung pun bernyanyi dengan merdunya. Terlahir menjadi bagian dari dunia ini.

Gelap malam datang kembali. Bintang itu menyapa aku. "99,100,101." Aku hanya dapat menghitung yang bersinar. "Jangan kau lupakan bintang yang tidak bersinar." Angin membisikan aku. "Ya kau benar, tidak bersinar belum tentu tidak indah. Karena dia terlalu tinggi membuat aku tidak dapat melihat dengan jelas." Kembali aku menghitung bintang-bintang di atas sana.

Waktu terus berputar tidak pernah berhenti. Semua yang ada di dunia ini akan terus bergerak. Bahkan diam adalah sebuah gerak. Semua yang ada dalam tubuh kita tidak pernah berhenti untuk membuat kita tetap hidup. Angin terus bergerak, menerbangkan daun itu. Membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin.

OTOKRITIKWhere stories live. Discover now