ANAK MANUSIA

28 2 0
                                    

Disaat aku tidak mengenal siapapun dan Dia hadir.

-Devani Aninda-

Aku berjalan menyusuri malam yang tidak pernah usai. Kesendirian dalam gelap membuat aku tak berdaya. Malam tak pernah berganti siang. Tak ada cahaya dalam langkah-langkahku. Tidak ada suara disekitarku. Semua seolah mati dalam diam. Aku tidak merasakan apapun. Jiwaku seolah mati dan tidak ada gairah di dalamnya. Waktu kembali berjalan mundur. Diriku disana tampak nyata.

Adzan Subuh terdengar dari surai di dekat rumah. Ibu membangunkan dan menyuruh untuk bergegas mengambil air wudhu. Kebiasaan yang dibangun sedari aku kecil. Aku begitu ingat bagaimana mereka mendidikku. Aku selalu diajarkan untuk menjalankan kewajiban sebagai seorang muslim. Pukulan-pukulan itu teriang dalam ingatan dan kata-kata di dalamnya membuat aku segera mengambil air wudhu. Tangisan yang dulu tidak lagi aku inginkan.

Tidak ada rasa yang nyata dalam diriku. Aku menjalankan semuanya hanya karena malas mendengarkan ceramah. Doa-doa aku lantunkan seadanya. Tidak ada kedamaian dalamnya. Hanya doa-doa yang dulu diajarkan tanpa berniat menambah. Surat-surat yang sangat sulit aku hapalkan membuat aku frustasi. Aku tidak mengenal diriku sendiri.

"Jangan tidur lagi. Tidak baik setelah sholat Subuh tidur, baca Al-Qur'an sana biar kaya Sendi." aku tidak habis pikir dengan ucapan ayahku. Dalam urusan agama pun selalu dibandingkan. "Kamu sudah SMA kelas dua Dev, ayat-ayat yang kamu tahu itu untuk anak SD."

Aku melepaskan mukena, "Yah, Bu, tidak ada batas usia dalam mendalami sebuah kitab suci." langkahku begitu ringan meninggalkan ruang sholat. Tidak ada penyesalan dalam mengungkapan itu semua. Aku tidak tahu langkahku akan kemana.

Kembali langkahku tidak ringan. Tidak ada ketenangan dalamnya. Aku hidup bagaikan untuk orang lain. Melakukan yang memang diajarkan tanpa merasa aku dan Dia menyatu. Angin tidak lagi aku rasakan dimana Dia hadir menyentuh lembut seorang anak manusia. Hanya anak manusia biasa. Manusia yang begitu tidak mengenal dirinya sendiri.

Aku masuk ke dalam ruang kelas. Kelas yang dipenuhi oleh gadis berhijab. Begitu indah jika dilihat dari sisi luarnya. Keyakinanku berkata lain, mereka tidak sepenuhnya merasakan kedekatanNya. Pakaian hanya sebuah tameng untuk menutupi dirinya yang sebenarnya. Kembali aku seperti orang yang kehilangan arah. Kekosongan dalam jiwa membuat hidupku begitu hambar tak berasa.

"Devina, kapan kamu mau mengenakan kerudung?" aku tidak menjawab pertanyaan guru Bahasa Indonesia itu. Pertanyaan yang membuat aku muak sedari kelas satu. Aku tetap fokus membaca buku pelajaran tanpa menatapnya sama sekali. "Pak, ini urusan saya pribadi."

Ruang kelas begitu sunyi. Tidak ada yang berani menjawab kembali kata-kataku. Bagus, lanjutkan saja pelajarannya. Tuhan, bagaimana mungkin kau tidak mampu hadir dalam diriku? Aku yang tidak mampu menggapaimu atau memang Kau tidak ingin meraih jiwa yang kosong ini? Aku berada di jalan yang tidak tahu arah tujuan. Jalan yang begitu membuat aku lemah. Aku tidak mampu untuk meraih cahaya itu. Cahaya yang bahkan belum aku temukan titiknya.

Waktu solat Dzuhur telah tiba. Aku melangkahkan kaki menuju rumahNya. Tidak ada rasa apapun, hanya aku melaksanakan sebuah perintah manusia. Aku belum dapat melakukan karena keinginan yang ikhlas dalam diri. Semua karena perintah dan kepaksaan dari manusia yang lain. Rasa malas membuat aku tidak benar-benar menyembahnya. Aku bahkan tidak merasakan kedamaian dalam jiwa yang kosong dan lelah. Lelah karena melakukan sebuah perintah tanpa aku menyatu dengan itu semua.

Dunia semakin gelap dan tidak ada yang mampu membuat aku bangkit. Manusia yang lain tidak bisa membuat aku tenang dalam menghadapi semuanya. Mereka tidak akan mengerti tentang apa yang aku rasakan. Aku sendiri tidak dapat menceritakan dalam bentuk kata-kata.

Jalan ini memiliki beberapa cabang. Aku mencoba jalan yang lain berharap menemukan sosok yang mampu mengisi kekosongan jiwa. Jalan itu masih terlihat gelap. Tidak ada cahaya seperti sebelumnya. Aku terduduk dalam diam mencoba menikmati setiap waktu dalam gelap. Waktu yang begitu berat untuk aku lewati. Kehidupan yang tidak pernah berpihak bagiku. Aku hanya seorang manusia yang lemah. Tidak bergairah dalam menjalani hidup. Tidak ada yang mampu memahami rasa dalam jiwa.

Aku hidup dalam sebuah kekangan. Terlalu dilindungi dan membuat aku takut untuk melakukan apa yang aku inginkan. Entah, aku tidak menjadi diriku sendiri. Aku berada dalam lingkungan yang membuat aku seperti orang lain. Lagu-lagu rohani aku dengarkan. Aku tidak mengerti kenapa aku mendengarkan lagu-lagu itu. Mencoba masuk ke dalam setiap syairnya. Menikmati setiap bait demi bait.

"Dev, sholat dulu jangan main laptop terus. Udah adzan lepas itu headsetnya." aku bergegas menutup laptopku. Rasa takut orang tua mengetahui apa yang aku dengarkan. Rutinitas yang selalu aku lakukan sedari kecil. Tidak membekas sama sekali.

Rasa sedih muncul dalam jiwaku. Belasan tahun aku hidup dalam kepaksaan. Aku tidak mampu memilih apa yang aku mau. Masalah-masalah terus datang menghampiriku. Aku yang keras dalam menjalani hidup membuat orang lain menganggap lain. Semua yang mereka inginkan aku lakukan. Namun, semuanya hanya membuat aku semakin hancur. Aku tidak tahu harus mencari tempat kemana. Tempat yang membuat aku tenang dan memberikan jalan dalam kebingungan dan kekosongan.

"Bu, aku keluar sebentar ya sama Gaby." aku memberanikan diri untuk meminta ijin keluar rumah. "Mau kemana?" ayah begitu protektif dalam pertanyaanya. "Ke rumah Aya, mau ngerjain tugas kelompok."

Gaby menjemput aku. Aku masuk ke dalam mobilnya. "Kamu yakin mau ikut?" aku hanya menganggukan kepalaku. Mencoba hal yang tidak pernah aku lakukan sebelumnya. Berharap aku menemukannya. "Aku hanya ingin mengetahui rasa di dalam." Gaby hanya mengangguk saja. Dia mengetahui apa yang sedang aku rasakan sekarang. Namun, tetap saja semuanya tidak dapat mampu menyembuhkannya.

Aku menatap gedung yang tinggi. Terlihat simbol salib di atas. Menjulang dengan kokohnya menuju surganya. Aku masuk ke dalam. Terdengar lonceng di dalam gereja menarik aku untuk masuk. Suasana begitu hening. Aku duduk di belakang, mendengarkan pendeta menyampaikan ajaran-ajaran-Nya.

Lagu-lagu pujian mulai dinyanyikan. Memuja sang juru selamat. Aku hanya mampu menikmatinya. Mendalami setiap makna yang terkadung di setiap katanya. Semuanya terlihat sama. Aku tidak mampu merasakan apapun. Tuhan, aku berada dalam kondisi yang tidak tahu arah. Aku tidak mengetahui, mana yang harus aku jalani. Ibadah mana yang mampu membuat aku merasakan hadir Mu.

Aku menangis. Air mata ini keluar tanpa aku minta. Entah kenapa aku menangis di dalam gereja. Bahkan aku tidak merasakannya sama sekali. Hal yang aku cari tidak aku temukan. Tangan yang aku satukan di depan dada tidak mampu menyalurkan semua rasa ini. Aku memohon dalam doa. Mengharapnya hadir meraih dan menggenggam tangan anak manusia ini.

Langkah kaki mulai meninggalkan gereja. Kaki-kaki kecil ini menyusuri jalanan. Lampu-lampu jalan seolah membentuk sebuah wajah jiwa. Jiwa yang begitu menyedihkan. Tak ada senyum tercipta di sketsa wajah itu. Hanya sebuah kecemasan yang tergambar jelas.

Malam ini aku begitu melankolik. Semuanya terasa menyedihkan. Rasa sepi kembali muncul dan memeluk erat tanpa ingin memberikan waktu untuk aku menghirup udara segar. Keramaian di sekeliling hanya membuat aku semakin terpuruk. Aku tetap merasakan kesepian. Sepi yang tiada ujungnya. Suara-suara mereka mencekik tenggorakan. Aku tidak mampu berbicara. Ruang hampa terus mengejar kehidupan yang tidak pernah mengenal bahagia sedari kaki ini masih kecil.

Sampai kaki ini berjalan jauh, aku tidak mampu merasakan hadir Mu. Hadir untuk mengisi ruang kosong yang membuat aku tidak merasakan ketenangan. Aku bingung, apakah aku akan terus mencari Mu? Atau aku berjalan di dunia ini atas nama kemanusiaan? Tanpa adanya unsur simbol agama? Mungkin aku akan terus melangkah sampai ruang kosong ini terisi. Aku tidak mengetahui sampai kapan akhirnya. Namun, aku percaya semua akan menukan sebuah titik tanpa ada koma atau titik dua. Berjalan sebagai seorang anak manusia biasa.


21/-7/2019

-VEDA-

OTOKRITIKWhere stories live. Discover now