KARSA

49 0 0
                                    

Semesta diciptakan oleh Tuhan, lalu siapa yang menciptakannya? Sebuah pertanyaan bodoh yang sering aku dengar dan aku tidak pernah mendapatkan jawaban memuaskan. Aku sendiri tidaklah mengerti kenapa diciptakan. Sebuah tawa ringan kini aku dengar di tengah gelapnya malam. Tawa ini keluar dari kepahitan hidup. Semua ini membuat kehidupan semakin pendek.

Manusia seperti aku hanya membuat dunia semakin sesak dan penat. Tak ada yang berarti dalam kehidupan yang semakin hari hanya kesuraman. Warna itu terus saja tidak hilang dalam hidup ini sedari aku kecil. Lembah kehidupan terus semakin dalam tanpa mencoba untuk membuat bukit. Lucu sekali semua yang ada. Debu dan aku menyatu menjadi satu kesatuan yang indah.

Sebuah tempat yang sedari dulu membuat aku merasakan kerasnya kehidupan. Rumah ini luar biasa dengan isi-isinya. Asap rokok mengepul di dalam kamar, mencoba mengeluarkan gerahnya batin. Terdengar dengan jelas barang-barang menghasilkan sebuah alunan musik yang tidak indah namun aku menikmatinya. Aku tidak habis pikir dengan semua ini, terlalu kasihan dengan uangnya. Uang sangat berarti bagi keluarga ini mungkin saja. Ya, aku bukanlah sebuah keluarga yang kelebihan uang.

Suara itu membuat aku tersenyum miris. Tidak pernah berubah dari dulu. Rokok ini telah habis. Aku memakai jaket dan menggunakan topi. Melangkahkan kehidupan ini menuju dunia yang lain, dunia yang membuat aku lebih nyaman.

"Kamu mau kemana?" aku tidak sanggup melihat perempuan itu menangis. Sungguh aku sayang dia, tapi tingkat ego ini lebih tinggi.

Tanpa menjawab aku melangkah pergi. Hidup bagaikan sebuah sekenario yang akan aku buat sendiri mulai sekarang. Aku tuhan bagi cerita hidupku. Persetan dengan manusia-manusia yang beranggapan diluar sana. Udara malam semakin menusuk tulangku. Ayo mendekatlah kehidupan yang lain, atau aku yang akan menjemput.

Tidak ada orang melintas disini semua hanyalah banyangan yang aku ciptakan. Gadget ini juga tidak ada gunanya. Aku memiliki teman namun nyata tidaklah teman. Seperti bunga bangkai aku rasa dunia sekitar. Aku mengambil sebatang rokok dan mulai menyalakannya.

"Mas, kenapa sendirian?" terdengar suara orang, mungkin ilusi semata. Aku masih memejamkan mata.

"Sombong bener." Kini aku merasakan seseorang menyentuh pundakku. "Aku Indira." Ini sebuah kehidupan baru, lembar terakhir yang akan mengisi buku kehidupan. "Aku kira kamu cowo."

"Duduk. Jangan menghalangi pemandangan." Dia pun duduk. Kehidupan dia membuat aku merasakan sakit. Aku yakin dia tidak menikmati kehidupannya. "Mata kamu buta ya, jelas-jelas hanya rel kereta."

Manusia memang terlalu pintar untuk menyembunyikan kenyataan perasaannya. Indira mengulurkan tangannya, "Kamu minum?" aku mengambil botol minuman itu. "Manusia memang terlahir untuk selalu sendiri." Aku masih menghisap rokok dan mengarahkan asapnya ke muka dia. "Brengsek lu."

"Ya, lanjutkan." Dia melanjutkan ceritanya. "Apa kamu menyesal telah terlahir?" aku hanya mengangguk tanpa menatap mukanya. "Lalu apa yang akan kamu lakukan?"

"Pergi dari semuanya." Mungkin aku akan pergi dalam waktu dekat ini. Pertemuan ini tidak akan lama dan aku tidak perlu menganggapnya penting. "Boleh minta rokoknya?" aku memberikan dia sebatang rokok. Kami menghisap bersama dan mengeluarkan kepulan asap. Asap ini hidup dalam sekejap dengan santainya dia melambaikan tangannya.

"Kamu mengerti aku kerja apa?" dan aku hanya mengangguk. "Apa kamu tidak merasa jijik?" dia cerewet sekali. "Tidak sama sekali, aku tidak berhak menghakimi orang karena pekerjaannya."

"Tapi aku ingin berhenti." Dia menghisap rokoknya. "Aku akan semakin merasa gila dan hina."

"Kalau begitu berhentilah. Lakukan apa yang ingin kamu lakukan. Jadikan kamu singa yang bebas berhendak."

OTOKRITIKWhere stories live. Discover now