seven

19.2K 3.1K 1.3K
                                    

1125 words!

Jeno menatap nanar punggung Jaemin yang dibawa pergi oleh Jisung. Melewati parkiran sekolah dan meninggalkan Jeno yang kini masih duduk di motornya. Sendirian.

Jeno menghela nafas pelan. Tadi Jaemin bersikeras tidak mau pulang dengannya, dan lebih memilih untuk menunggu adiknya keluar kelas. Fyi, Jisung kelas X dan Jisung juga bersekolah di SMA yang sama dengan mereka.

Jadi sekarang Jeno lebih memilih diam di motornya. Memikirkan berbagai hal yang sekarang berkecamuk di pikirannya.

Persahabatannya dengan Jaemin.

Hubungannya dengan Herin.

Dua hal itu sedari tadi berkecamuk di pikiran seorang Raditya Jeno. Pemuda tampan itu hanya bimbang.

Jaemin jelas Jeno sudah mengenalnya luar dalam. Tapi hubungan mereka selama 17 tahun ini hanya sahabat. Yah walaupun mereka sering berbagi kecupan, pelukan, atau lumatan, semuanya hanya berdasar pada persahabatan. Tidak lebih.

Lalu Herin. Jeno tahu betul bagaimana perasaan gadis itu padanya. Sejak kelas sepuluh Herin sudah mengejarnya. Memintanya untuk menjadi kekasih Herin. Di pertengahan kelas sebelas, dengan persetujuan Jaemin juga tentunya, Jeno baru mau menerima gadis itu.

Jeno mengutamakan Jaemin di atas Herin, tentu saja. Selain karena alasan persahabatan, Jeno mengutamakan Jaemin juga karena perasaan sialan ini.

Jeno kerap kali menyebut perasaannya pada Jaemin sebagai perasaan sialan ataupun perasan bangsat, atau perasaan tak tahu diri. Jeno menjelek jelekkan perasaannya sendiri, karena menurutnya bagaimana bisa Ia menyukai sahabat kecilnya sendiri? Padahal dulu Ia dan Jaemin sudah saling berjanji untuk tidak menyukai satu sama lain.

Karena Jeno dan Jaemin ingin menikahkan anak mereka kelak. Apapun keadaannya anak mereka harus menikah nantinya.

Dan sekarang Jeno berpikir, mengapa tidak dirinya saja yang menikah dengan Jaemin?

Namun tampaknya hal seperti itu sangat mustahil. Selain karena perjanjian tadi, Jeno juga sudah menjadi kekasih Herin.

Memutus hubungan dengan Herin tentu saja mudah. Tapi yang ditakutkan Jeno adalah Herin yang akan melakukan self-harm ketika Ia mulai meninggalkan gadis itu.

Pernah suatu kali, Jeno mencoba melepas Herin. Herin yang kala itu tengah berada di kelas langsung beranjak mengambil cutter di meja guru, kemudian menggoreskannya benda tajam itu di lengan kirinya hingga mengeluarkan darah tepat di hadapan Jeno sembari mengatakan, "aku bunuh diri kalo kakak ninggalin aku."

Jeno tentu saja terkesiap kala itu. Yang Ia tahu, Herin bukan lagi menyayanginya, melainkan gadis itu terobsesi dengan dirinya hingga berani melakukan hal hal bodoh hanya untuk mendapatkan perhatian dari Jeno.

"Tau gini dulu gue biarin aja Herin." Ujar Jeno pelan. Tangannya dengan kasar mengusak surai hitamnya. Melampiaskan rasa frustasinya hari ini.

"Kak Jeno?"

Ah suara itu. Suara yang sangat tidak ingin Jeno dengar. Suara Herin.

Maka beberapa detik setelah mendengar suara Herin, Jeno bergegas memakai helm fullface miliknya. Berniat meninggalkan gadis itu dengan cepat. Namun Herin lebih dulu berada di depannya. Di depan motornya.

"Anterin aku pulang ya kak?"

Jeno membuka kaca helmnya. Berdecak sebelum menjawab permohonan Herin. "Pulang sendiri. Udah gede juga."

"Aku ga bawa motor kak~" Rengek Herin. "Jarang jarang juga kakak nganterin aku pulang. Kakak pulangnya sama Kak Jaemin terus sih."

"Gausah boong. Aku tahu sekarang motormu kamu taruh di warung sebelah sekolah." Jeno berucap dingin. "Rumahmu ga searah sama aku, dan Jaemin, dia penting buat aku. Gausah iri sama dia karena nyatanya kamu ga sebanding sama dia."

❝ Cuma Temen? ❞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang