Senja yang nyaris berlalu. Toko-toko kelontong di pinggiran jalan sudah mulai tutup, begitupun keramaian yang telah usai dari tadi. Nampak sinar senja memancar kuat untuk terakhir kalinya sebelum redup dan gelap seutuhnya.
Sinar nan jingga itu lantas menjilat separuh tubuh Annisa hingga wajahnya. Wajah kalem-sendu yang namun tetap cantik itu rupanya sudah lelah. Sudah dari satu jam yang lalu, sejak sekolah sudah bubar , orang yang dinanti tak kunjung tiba juga.
Puluhan pesan singkat telah ia kirim bersama panggilan yang tak pernah diangkat, juga pesan yang tak pernah dibalas. Apapun itu, apapun alasannya Annisa akhirnya beranjak pulang. Berjalan kaki juga tak apa, tapi itu cuma sebatas kerancuan, tetaplah hatinya pilu, pupus dan remuk.
Harusnya ia tak perlu berharap untuk diperhatikan oleh siapapun. Tak perlu berharap pada makhluk apalagi pemuda tolol itu, pikirnya.
* * *
Lantunan adzan maghrib bertebar di antara batas senja kota tua. Di jalan besar, sebuah mobil ferari hitam berlari mengejar waktu. Sang pengemudi nampak begitu cemas dan gelisah. Berulangkali pandangannya teralihkan oleh serentetan pesan masuk dan panggilan tak terjawab.
Ia ingat betul tentang janjinya tadi pagi. Pukul 04.30 di taman pusat kota, seorang gadis mestinya telah lama menanti kedatangannya. Namun sayang, sekarang sudah jam 06.30. Gadis mana yang mau menunggu selama itu.
Ferari hitam kini berhenti di depan taman. Tapi si pemuda tidak menemukan sang gadis di tempat yang di janjikan. Ayunan tua sudah kosong, Annisa tidak ada.
Sekejab dentuman jantungnya memuncak, keringatnya meluap di antara setelan jas yang ia kenakan. Takut kalau-kalau Annisa di culik, diperkosa, atau apalah yang membuat wanita itu terancam ia cemaskan.
Kemungkinan terbaiknya si gadis pulang dengan berjalan kaki sampai rumah. Namun itu pun tak baik. Masalahnya jarak dari taman ke perbukitan tempatnya tinggal sungguh jauh, sangat jauh malah.
Sesal lantas tersirat di antara relung hatinya. Keterlambatan kali ini adalah untuk yang kesekian kali. Entah berapa pastinya sampai si pemuda lupa karna sangking banyaknya.
Sebuah handphone kini ia ambil dari balik kantong celananya, bermaksud ingin menghubungi Annisa. Siapa tahu gadis itu belum jauh dari taman. Nihil, panggilan tak diangkat, tak ada pesan pula. Dengan hati yang gundah, si pemuda melesatkan mobilnya menelusuri jalan biasa ia pulang saat menjemput gadis itu.
Beralih dari taman ke sebuah rumah di perbukitan, sedan hitam dengan pelannya, memantapkan kesan mewah saat memasuki garasi. Kilauan lampunya kini padam, si pemuda turun dari mobil sambil berlari kecil.
"Assalamualaikum..." Salam pemuda cepat disambut jawaban salam tak lama kemudian dari arah berlawanan.
"Paman. Annisa sudah pulang?" lanjutnya bertanya.
"Sudah Den, sudah. Tapi paman perhatikan wajahnya pucat dan matanya merah. Paman tak berani tanya, takut salah bicara. Soalnya tadi dia langsung ke kamar dan membanting pintu keras-keras. Emangnya ada apa sih Den?
"Aku telat jemput paman. Di kantor ada rapat mendadak, padahal sudah janji mau jemput Annisa pulang sekolah."
"Aduh, gawat juga ya. Neng Annis kan kalo udah ngambek pasti udah gak mau ngapa-ngapain. Ya udah, mending Den Rama ajak Neng Annis sholat aja dulu, waktu sholat maghrib udah mau abis." Saran itu di terima dengan anggukan.
Rama dan Annisa, kedua kakak beradik ini memang sudah tak punya orang tua. Apalagi kini Rama meneruskan perusahaan milik ayahnya dan sibuk setiap saat hingga kadang Annisa beranggapan bahwa ia tak pernah punya keluarga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Payung Hujan
Short StorySaatnya hujan. Siapkan kopimu, coklat panas barangkali. Sedikit kue saja pelengkapnya, ah mungkin mi rebus juga. Selamat membaca ...