Setibanya di desa dekat perbukitan sejak tadi malam, kupikir memang sedang ada gangguan. Pasalnya sinyal hape tak kunjung membaik. Tak seperti di kota tempatku tinggal.
Sore ini kesalku di ujung tanduk sebab tak bisa buka fesbuk seperti biasa. Maklumlah anak milenial, kalau sudah putih abu-abu takkan terpisah dengan dunia yang tabu. Nyata dan maya.
"Mbokde! Tak jalan-jalan dulu, ya."
"Iyoo ... Ati-ati. Ojo sue-sue (jangan lama-lama)."
"Ooke Mak broo ...."
Kembali kutilik layar hape, masih tak ada sinyal. Motor pakde kupinjam menyusuri gang sempit, sambil menenteng besi pipih segi empat dengan ratusan komponen yang entah di dalamnya, hingga berhenti tepat di tepi jalan utama.
Seorang pemuda lewat di depanku.
"Mas, mas. Di sini kok sinyal susah ya?" Tanyaku.
"Ooo ... gampang, Mas. Sampean ke sana aja tuh," tangannya menunjuk ke arah sebuah bukit.
"Di bukit itu?"
"Iya mas, kalo dari situ sinyalnya kuat, soalnya menara pemancarnya di belakang bukit itu."
"Ngikutin jalan ini?"
"Iya, terus aja."
"O gitu, makasih ya."
"Iya, sama-sama."
Motor butut pakde dengan suara bisingnya melaju ke arah yang dimaksud. Banyak pepohonan rindang di sini, berpadu dengan cahaya sore keemasan, menambah hangat suasana. Orang-orang sangat ramah, selalu senyum dan sapa saat papasan, sekalipun tak kenal siapa. Burung-burung berkicau ria, angsa-itik membaur di kandang ayam, memakan dedak bercampur nasi basi. Ini pemandangan yang takkan kutemui di kota.
Hampir sampai ke puncak, tapi motor ternyata dilarang masuk lebih jauh. Tampak sekeliling padang rumput jarum yang terawat luas, taman-taman dan kursinya, pepohonan aneka rupa dan bunga-bunga cantik yang mencuri hati. Sangat indah. Apalagi tempatnya di perbukitan. Masih asri dan sepertinya ... ini tempat wisata.
Tapi aku tak peduli, terus mengangkat hape ke udara, sinyal tambah satu. Kulangkahkan kaki menuju puncak. Semakin ke atas dan signal semakin membaik, aku mulai tersenyum. Tunggu, kalau sinyal full lebih bagus, jadi kuputuskan untuk terus melangkah. Tanganku masih di udara bersama besi pipih dan mataku menatap layarnya.
Di puncak, lalu sedikit menuruni bukit ada pohon besar, aku tepat di bawahnya. Mataku masih fokus pada layar gawai di udara. Stop! Yeah, akhirnya signal penuh-nuh-nuh. Asek!
"Nyari sinyal juga?"
"Astaghfirullahal'adzim!"
Tubuhku tersentak dua kali dalam detik yang sama. Pertama setelah menyadari tepat satu meter di depanku ternyata terpampang jurang yang sangat tinggi, di bawahnya bebatuan besar-besar. Duh, gak kebayang kalau jatuh.
Lalu kedua, seorang gadis cantik sebayaku yang duduk manis dengan gaun putih bersih di samping. Mata sipitnya menatap keheranan.
Dadaku masih berdegup kencang, tubuhku terjatuh di atas rerumputan taman. Tapi wajah manis itu, seolah membuyarkan segalanya.
Aku terpana.
"Hey?"
Tangannya melambai di depan wajahku. Kami masih berada di bawah pohon besar nan rindang. Di kejauhan sana, mentari sore tampak indah dan awan berubah kuning-oranye, menyorot wajahnya yang cantik. Dia tertawa kecil melihatku yang terkaget-kaget, sadar dari lamunan paras indahnya.
"Kamu kok di sini?" Tanyaku.
"Ya nyari sinyal, lah."
"Ooo ...," sambil mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Payung Hujan
Short StorySaatnya hujan. Siapkan kopimu, coklat panas barangkali. Sedikit kue saja pelengkapnya, ah mungkin mi rebus juga. Selamat membaca ...