Seseorang memasukkanku ke dalam grup whatsapp.
"Masa kecil?"
Hening. Alisku terangkat saat membaca nama grup itu.
Cek anggota, hanya lima orang termasuk aku. Oh, ternyata sahabat lama di SMP dulu. Ya ampun, sudah lama sekali tak pernah tahu kabar mereka.
Ada Yogi, Ana, Selfia, Hery, entah kenapa hatiku tiba-tiba sangat senang mengetahui nama mereka yang tertulis di info dan nomor telepon. Aku rindu.
Langsung post chat.
"Hai semuanya, apa kabar?"
"No siapa nih?" (Ana)
"Itu Arian, An. Aku yang masukin." (Yogi)
"Wah ... elu, Ar. Pas banget." (Hery)
"Kangeeeen sama kamu, Arian." (Selfia)
"Oo ... Arian si tampan, toh. Mantaaap!" (Ana)
Wih, senangnya. Mereka semua lagi online, kesempatan cakap-cakap hangat setelah sekian lama.
Tiba-tiba ada chat baru, bukan dari grup, tapi dari Ana.
"Arian ...."
"Eh, Ana. Gak chat bareng di grup aja?"
"Enggak, aku cuma mau tanya. Kamu kok lama ninggalin kami? Padahal kami sekarang satu SMA, loh. Cuma kamu yang gak ada."
"Ya, kan aku harus pindah, An. Mana mungkin aku ngebantah orang tua aku. Padahal pengen sih bareng kalian."
"Hmm.. Aku kangen sama kamu."
"Kamu pikir aku enggak?"
"Masa sih? Sama aku?"
"Hahaha, pastinya."
Akhirnya aku malah sibuk membalas chat Ana, sampai lupa dengan grup tadi. Kami seolah sibuk bertukar perasaan, tentang rindu, tentang apapun yang mengganjal dan entah. Malam ini, seolah menjadi tema curahan hati.
Aku pernah suka dengan gadis itu dan mungkin sampai sekarang. Jadi kupikir tak ada salahnya mengungkapkan perasaan.
"Dulu aku suka sama kamu."
Mengetik .... Aku menunggu. Dia lama sekali tapi malah bikin penasaran. Jadi tak ingin keluar ruang obrol bahkan jika sekedar untuk cek grup tadi. Yang kuingin tahu sekarang hanya jawabannya.
"Oh," balasnya.
Ya ampun, jawaban macam apa ini? Aku menunggu belasan menit cuma buat baca satu kata, oh.
Tapi ia kembali mengetik. Aku menunggu.
"Jawabannya ada di grup!"
"What!?"
Buset. Kamu mau tulis apa di grup, biar semua orang tau kalau aku pernah suka? Kalau iya habislah aku. Bakal jadi objek hangat kalau begini.
Capcus buka grup dan alangkah kagetnya. Mereka bercakap-cakap.
"Jasad Ana udah ketemu belum sih?"
"Udah, katanya hanyut di sungai."
"Oh, enakan Selfia. Cuma tubuhnya yang kelindes truk."
"Sama kek Yogi dong. Cuma ancur kepalanya doang sih ya, hahaha."
"Aku enak lagi. Kepalaku copot."
"Bahahaha ...."
"Mana buktinya?"
Heri mengetik .... Lalu muncul beberapa gambar buram, download. Mataku melebar.
Tampak, foto-foto kecelakaan maut. Ada sebuah bus pariwisata dan truk sawit sama-sama hancur total. Bahkan ada api di sana.
Foto lain memperlihatkan banyaknya korban. Ada yang badannya tak utuh, ada yang tertusuk patahan besi dan sisanya sungguh mengerikan.
Hanya saja yang membuat jantungku bergetar hebat ada di empat foto terakhir.
Foto pertama dan keempat ada Selfia dan Ana dengan tubuh remuk. Ususnya keluar.
Foto kedua ada Yogi yang kepalanya hancur. Entah apa yang kuning-kuning itu. Seperti gumpalan lemak yang bertebaran.
Foto ketiga Hery dengan kepalanya yang diletakkan di samping badan penuh darah, putus dari tempatnya.
Aku melemparkan hape ke sembarang tempat, darahku seolah membeku, keringat meleleh seperti hujan, jantungku meledak-ledak, nafasku kembang kempis dan sesak seisi dada.
Tak lama satu pesan masuk. Seisi otakku berguncang, tanganku gemetar hebat. Kaget bukan main.
Dengan pelan dan penasaran yang meletup-letup, aku mencoba membuka isi pesan. Tubuhku seolah mati rasa. Klik.
"Maaf, Arian. Tapi dunia kita sudah berbeda."
Saat itu juga, aku tak sadarkan diri.
Tamat
KAMU SEDANG MEMBACA
Payung Hujan
Short StorySaatnya hujan. Siapkan kopimu, coklat panas barangkali. Sedikit kue saja pelengkapnya, ah mungkin mi rebus juga. Selamat membaca ...