Hujan Senja di Perpisahan Kita

32 3 0
                                    

Aneh, aku tak pernah menemui senja sedang luntur sejak tadi kita resmi untuk berpisah. Perlahan, jingga kekuningan itu menetes seperti hujan, tapi jatuh layaknya bintang-bintang. Semua berpijar berkilapan.

Ah, sungguh indah. Aku tak pernah melihat hujan senja. Siapakah yang mengundang, apakah penyebabnya, entahlah. Yang kutahu hanya tadi kau sedang menangis ke arah sunset sambil mengusap air mata.

Perlahan senja menggenang semakin dalam hingga semata kaki, menghapus jejak bisu kamu yang sedang patah hati. Aku tahu ini berat untukmu, tapi buat apa ditahan berpisah kalau sudah tak cocok adanya.

Perlahan kulihat langit mulai memudar menjadi ruang kosong putih seputih susu seolah awan bersih rata menutupnya tanpa cela. Langit telah pudar seutuhnya.

Aku memegang butiran senja yang lebih cair dari air. Tiba-tiba aku teringat wajahmu. Aku menyesal.

Lantas kukejar dirimu menuju sunset yang hampir tenggelam sampai malam sempurna gelap gulita. Namun aku tetap berlari dalam genangan senja yang menyala.

Akhirnya aku menemukanmu. Kau, tampak sebagai siluet dari jauh, rambutmu terurai lurus, hitam terurus. Aku semakin dekat dan hampir meraihnya. Kuulurkan tangan tak sabar, masih berlari.

Aku menggapainya tapi tiba-tiba tak tersentuh. Dia tertembus oleh jemariku yang mulai gemetar. Mataku melotot tajam dan jantungku berdebar kuat sekuat hampir copot dari tempatnya. Aku hanya menemui siluet mantan pacarku, bukan raganya.

Kenapa? Apa yang terjadi? Siluet itu mendekat padaku seolah menyesali perbuatannya. Tidak! Aku lebih menyesal.

Dia tertinggal hitam sekujur badan layaknya sebongkah hati yang kelam. Lalu mendekat seperti merangkul, tapi tetap tak terasa oleh badanku yang seluruhnya telah mati rasa, aku mati perasaan. Sedang dia sudah tak berbentuk dia.

Tiba-tiba siluet itu hilang, sedang senja masih menggenang. Aku memanggil namanya, memanggil layaknya seekor anak ayam yang jauh dari induknya. Hei, aku memang tak bisa hidup tanpamu, aku tak biasa jauh darimu. Kenapa kau hilang tiba-tiba, Heina?

Kubaringkan badan yang lelah ini dalam genangan senja yang masih menyala hingga dapat kurasakan kehangatannya menjalar ke sekujur tubuh, meski tak sampai ke hati. Meski kau tak di sisi.

Aku terlelap dalam senja meski mimpi buruk tentangmu kembali hadir hingga membuatku mampu tidur sambil menagis. Bayangkan, tidur sambil menangis!

Hei, seperti inikah sakitnya perpisahan yang tak dapat kembali utuh. Remuknya hati sesakit luka yang bahkan tak pernah tersentuh. Tapi perpisahan ini menyayatku, Heina.

Aku bagun dengan rasa yang masih sama. Tiada pagi sebab mentari telah lebur menjadi senja yang masih saja membanjiri ranah-ranah, langit masih memutih, seolah dunia sudah takkan berubah bentuk. Mungkin hanya hatiku yang tak lagi berbentuk.

Dengan lelah kuambil langkah. Kembali berlari ke arah yang sama. Barangkali aku akan menemukanmu yang asli, yang dulu pernah mengisi hati dan aku ingin kembali diisi.

Tiba-tiba terdengar tawamu. Aku ingat betul tawa itu pernah menggema saat kita dalam ruang yang sama, selimut yang sama. Benarkah ini? Heina, kau dimana?

Sekarang aku berlari ke arah yang entah, suara itu tak jelas asalnya darimana. Hanya aku masih mengharapkanmu wahai cinta yang entah dimana.

Ternyata di langit. Dia di langit. Aku dapat melihatnya yang tertawa Seperti saat aku mencumbuinya. Ya ampun, Hei, kau bersama iblis di atas sana.

Bagaimana kau mau maunya dijilati oleh makhluk berwajah seram itu? Bagaimana mungkin kau menikmati pelukan padahal kau lihat betul panjang tanduknya menakutkan?

Dia berekor tajam yang mampu menusukmu kapan saja. Dia punya taring yang suatu waktu dapat melukai lehermu kapan saja. Lihat matanya, dia iblis.

Tubuhku lemah lunglai, aku terjatuh rapuh dengan harapan yang tak pernah sampai. Kamu di bawa terbang, aku terbuang. Kamu dimilikinya, aku derita.

"Seharusnya aku tahu, bahwa berpisah hanya akan membuatmu semakin salah langkah, lagi membuat hatiku berdarah-darah."

Payung HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang