Lagi-lagi hari ini tak hujan. Padahal segala sumber telah mengering, perlu berjam-jam untuk sampai ke mata air yang cuma satu. Itupun dipakai warga satu kampung.
Hanya saja hujan tak pernah lagi mengguyur sejak lelaki itu menghilang dari pandangan, sekalipun kata-katanya masih terukir dalam ingatan.
"Nina, aku adalah hujan," katanya waktu itu.
Aku diam saja, menatapnya yang tengah duduk santai di atas dahan sebatang pohon yang masih terjangkau. Dapat kurasakan semilir angin yang membuat nyaman.
"Kelak aku akan menyentuhmu dengan rinai-rinai yang yang tak pernah membasahi," lanjutnya sambil menatapku.
"Maksudmu?"
Tidak dijawab. Bahkan tak kusangka bahwa itu adalah percakapan terakhir kami sejak dia melompat dan beranjak pergi, lantas tak pernah kembali.
Pemuda itu ... kekasihku, dulu. Tapi aku tak dapat menunggu seorang yang menghilang dan tak pernah tahu kapan akan datang.
Sedang hati yang baru mulai mendekat, aku memutuskan menikah dengan orang lain meski cintaku padanya masih utuh seperti kemarin.
Guntur, aku tak mengerti dan tak tahu harus bagaimana. Apa mungkin aku harus menunggumu dan menolak semua pinangan? Kau bahkan tak pasti akan kembali. Maafkan aku harus dengan yang lain.
***
Sore seperti biasa, taman ini tampak hangat dengan mentari sore, juga kemarau yang membuat dedaunan pohon sekitar menguning. Bunga-bunga yang mekar cacat, kupu-kupu yang kurus kering, juga sampah tumbuhan yang berserakan seolah mengabarkan bahwa hujan tak mungkin datang.
Aku masih duduk berdua dengannya di se-kursi taman. Dia, suami di samping merangkul penuh kehangatan, meski hatiku masih sulit merelakan kepergian.
"Yang ...," sambil lehernya liar menoleh pada benda di sampingku.
"Hmh?"
"Kok, bawa payung?" Katanya sambil tersenyum dan alisnya terangkat.
Aku menatap benda merah kubas yang masih tertutup itu, sudah bertahun-tahun kusimpan. Payung hadiah dari Guntur yang dititipkan pada seseorang untukku seminggu setelah ia pergi.
Entah, akupun tak mengerti kenapa dia malah memberi hadiah payung, sedang hujan tak pernah hadir kembali.
"Gak tau, Yang. Tiba-tiba aja pengen bawa payung. Padahal gak mungkin hujan, untuk bernaung dari panas pun sudah sore. Lucu, kan?"
"Banget. Kamu emang suka gitu dari dulu," balasnya seraya tersenyum sambil mengusap rambutku lalu menciumnya.
Jujur, aku cukup bahagia dengan Syafi, suamiku. Tapi hingga sekarang, hati ini masih berharap Guntur kembali, kuingin tahu kabarnya, melihatnya, rinduku sudah seperti para warga yang menanti hujan.
"Yang, pulang yuk! Udah sore," ajak Syafi.
"Mau di sini aja ...."
"Ya udah, aku duluan, ya?"
Aku mengangguk. Syafi mencium keningku, lalu pergi sambil melambaikan tangan. Untungnya jika nanti pulang, akan kulihat dia di rumah, tidak seperti Guntur yang seolah lenyap entah kemana. Mau mencari pun tidak tahu harus kemana.
Angin berembus semakin kencang, dedaunan kering berjatuhan. Semakin dingin.
Aku mendekap badanku dengan kedua tangan sambil tertunduk, mulai menggigil. Entah kenapa tiba-tiba muncul mega-mega mendung seolah bekejaran.
Tak peduli, aku malah asyik dengan Guntur. Pria itu tiba-tiba saja muncul secara acak dalam bayangan. Saat ia tersenyum, marah, tertawa, ragu, seolah segala mimik wajahnya padu dengan otakku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Payung Hujan
Short StorySaatnya hujan. Siapkan kopimu, coklat panas barangkali. Sedikit kue saja pelengkapnya, ah mungkin mi rebus juga. Selamat membaca ...