Palui hampir tak percaya keadilan tuhan. Memangnya darimana kata adil itu datang, apakah hanya sejak dia jatuh miskin? Tidak, dia miskin sejak kecil, sejak bapak-ibunya, sejak kakek-neneknya, sejak nenek dari neneknya nenek itu sudah miskin tujuh belas turunan, jadi bukan itu sebab terkuat Palui tak juga mau mengakui keadilan tuhan.
Sampai pada siang itu, berteduhlah si Palui di bawah sepohon beringin besar yang begitu rindang nan sejuk, terasa nyaman sekali berada di sana.
Lalu sadarlah dia, di bawah itu pula tumbuh sepohon labu yang besar nan berat buahnya, cocoklah untuk disantap sayur bening nanti kalau pulang. Tapi rupanya lagi-lagi terpikir jahil otak si Palui.
"Huh, ternyata tuhan benar-benar tak mengerti namanya adil. Lihat pohon beringin sebesar ini, serimbun ini, masa buahnya dibikin kecil-kecil? Sedang pohon labu di sana pohonnya kecil, batangnya kecil, buahnya dibikin begitu besar. Tampaknya tuhan bukan Arsitek ulung. Tak pandai disebut adil, huh, dasar Tuhan. Pantas saja aku tak kaya-kaya."
Semilir angin tiba-tiba meraba nyaman tubuhnya yang lelah itu, Palui tak kuasa menahan kantuknya, sejuk. Hampir membuat lelaki itu senapas lagi akan terpejam. Tapi, jatuhlah benda merah bulat kecil tak sampai seujung kelingking tepat di hidungnya. Buah beringin.
Terperanjat!
"Huaah ...." Dadanya berdegup degup, buah itu jatuh sangat tiba-tiba. Membuatnya seketika terduduk mengatur napas.
Terbesit di benak Palui.
"Ya, Tuhan ... untung buah beringin kecil. Coba kalau se-labu, habislah hidungku."
Sejak itu palui mengerti, dimana letak keadilan Tuhan.
Tamat
KAMU SEDANG MEMBACA
Payung Hujan
Short StorySaatnya hujan. Siapkan kopimu, coklat panas barangkali. Sedikit kue saja pelengkapnya, ah mungkin mi rebus juga. Selamat membaca ...