"Aku Susi, jatuh dari sana," tangannya menunjuk ke atas.
Pemuda itu ikut menunjuk ke arah yang sama, alisnya terangkat seolah ingin menanyakan kembali apakah gadis itu benar-benar jatuh dari langit.
"Iya," lanjut Susi sambil mengangguk dengan wajah meyakinkan.
Adam membulatkan matanya, menganga. Bagaimana mungkin seorang gadis cantik berpakaian ala kerajaan lengkap dengan mahkota dan perhiasan emas mengkilap tiba-tiba jatuh di taman belakang rumah dan tersangkut di pohon kersen?
Pemuda itu menepuk-nepuk wajahnya, memastikan tidak bermimpi lalu kembali menatap gadis cantik di depannya. Bening, mulus, dadanya cukup membuat tegang, dan tingginya sedang juga wangi, pas wanita idaman.
Sejak kejadian itu Susi tinggal di rumah Adam yang kebetulan hanya sendiri, belum beristri dan jauh dari keluarga. Setiap harinya, ia melakukan pekerjaan rumah dengan rapi dan cekatan tanpa di suruh.
"Susi," ucap Adam yang duduk di meja makan sambil membaca koran.
Tangan gadis itu terhenti dari pekerjaannya mengelap lemari kaca.
"I--iya ... "
"Kamu gak capek tiap hari kerja rumah terus?"
Adam mengerutkan alisnya, sedikit tak enak dengan perlakuan baik Susi. Gadis itu tersenyum.
"Enggak, lagian kan saya numpang di sini. Andai tidak ada anda, mau tinggal dimana?"
"Emang kamu gak mau pulang ke langit?"
Entah kenapa tiba-tiba saja wajah Susi berubah murung. Jemari lentiknya meremas kain lap, lalu tertunduk.
Perlahan mata Susi berkaca-kaca sampai membuat sungai-sungai di pipi mulusnya. Semakin lama Susi terisak makin kuat.
Adam menatapnya bingung, berdiri seraya mendekat. Tangan pemuda itu dengan lembut dan pelan mencuri dagunya, mendangakkan wajah gadis hingga tampaklah pemandangan yang begitu cantik, sekalipun dengan air mata yang berjatuhan.
Dengan penuh kehangatan, pemuda itu menyeka air mata Susi dengan jemarinya.
"Maafin saya Sus," ucap Adam dengan lirih. Susi meraih tangan si pemuda, menurunkannya dari pipi.
"Enggak, anda sama sekali gak salah, kok. Saya cuma ...."
"Ssst ... " Telunjuk Adam menempel di bibir manis Susi yang mengkiap seolah selalu basah.
"Kamu ... boleh kok tinggal di sini selama yang kamu mau. Menetap di sini, bahkan juga menetap di hati kalau mau."
Mata Susi melebar. Ia menatap wajah pria tampan, gagah dan tinggi di depannya sambil kembali menangis haru, lalu bersandar pada dada bidang Adam dan jemarinya meremas pelan t-shir yang dikenakan pria itu.
Singkat cerita akhirnya mereka menikah. Di malam pertama, keduanya telah berbaring dalam satu selimut, bercumbu.
"Mas," Susi mengelus wajah kekasihnya.
"Hmh?"
"Kok kamu mau sama aku? Kamu kan gak tau siapa aku."
Adam mengelus balik wajah Susi, mereka bertatapan dengan jarak sangat dekat.
"Sus, aku tak memandang apapun darimu selain hati yang tulus itu. Tak peduli siapapun dirimu, darimana asalmu, aku lebih memilih karena kamu ... entah kenapa membuatku merasa nyaman saat di dekatmu, seolah ingin berlama-lama dan tak ingin jauh."
Susi tersenyum manis. Wajahnya tampak lega dan nyaman.
Malam itu, seisi kamar sempurna penuh cinta. Dalam kehangatan di antara dingin malam, mereka saling berbagi napas, berbagi rasa dalam perasaan bahagia. Hingga keduanya tertidur lelap dengan perasaan puas dan lega.
KAMU SEDANG MEMBACA
Payung Hujan
Short StorySaatnya hujan. Siapkan kopimu, coklat panas barangkali. Sedikit kue saja pelengkapnya, ah mungkin mi rebus juga. Selamat membaca ...