Kita bertemu di suatu tempat, gadis kecil. Terlihat pipi dan sedikit rambut yang tumbuh masih memerah beroles darah. Apa aku akan membawamu? Mungkin aku makan saja.
***
Terdengar ketukan pintu, kemudian terbuka
"Ah, kau rupanya, ayo masuk!" Ucap seorang wanita berambut sepinggang, bermata tajam, taringnya agak memanjang jika aku yang datang. Entah kenapa, selalu begitu. Hanya yang menyenangkan darinya adalah cantik, tubuh ideal dan asupan makan yang terjaga. Dia suka bagian paha, daging manusia.
"Tunggu, bau apa ini?" Dia pasti cepat menyadari.
"Aku punya permintaan," kataku.
Bola mata dengan pupil kucing tajam lantas menyambar, menaruh kecurigaan besar. Dia tahu betul apa yang kubawa, makanan lezat. Seorang bayi perempuan berambut pirang dengan mata biru langit dan kulit putih; berlumur darah. Tentu bayi manusia.
Di hidung kami mereka seperti aroma kare atau apalah, terkadang air liurku pun menetes tanpa sadar. Perutku bahkan berbunyi seolah bergentar.
"Aku menemukannya di tepi sungai dekat bangunan tua," lanjutku.
"Ah, aa ... ja-jadi ini untukku?" Wajahnya memerah, sumringah.
"Bukan!" bentakku. Matanya kembali curiga.
Aku meletakkan bayi itu di lantai kayu. Kemudian bertekuk lutut, membungkuk hampir sujud. Ini seperti pernyataan cinta. Tepat di depan wanita yang seratus tahun lalu datang padaku. Mengungkapkan semua isi hatinya, memohon ingin hidup bersama. Kubilang "tunggu". Entah apakah ia masih menunggu, padahal sudah seratus tahun, bukan?
"Aku ingin kau membantuku merawatnya. Membesarkannya, lalu ...."
"Tunggu!"
"Apakah semua ini untuk bayi manusia?" Wajahnya mendadak kesal, wanita memang agak menakutkan dalam hal cemburu. Sebab satu permintaan sambil bersujud itu pastilah untuk hal yang amat berharga, ia pasti menimbang mana yang lebih berarti di mataku antara dia dan bayi ini.
"Cih! Seratus tahun aku menunggumu, (jujur kata itu membuatku kaget) menanti jawaban dari isi hati. Kau seperti patung, dingin, keras. Aku tak tahu sebatu apa kepalamu yang membiarkan wanita menunggu selama itu. Dan yang kutakutkan, jawaban semacam ini."
Mungkin baginya sikapku seperti semacam penolakan. Tidak, tepatnya seperti mengatakan "aku membutuhkanmu karena aku mencintainya."
Di luar tampaknya mulai gemuruh, semakin dingin. Dapat kulihat dari lantai yang mulai basah oleh tetes bening. Orang bilang air mata itu darah hati. Benarkah? Jadi begini keadaan wanita saat terluka, pasti sakit.
Perlahan isaknya terdengar, lalu memudar. Ditariknya kursi dekat meja dan duduk di sana, masih di depanku. Kedua tangannya menutup wajah.
Ada lagi yang menangis. Bayi kecil yang lucu. Aku mengangkatnya, menggendong sampai kembali tertidur. Yang kulihat hanya wajah tanpa dosa.
"Yah, aku tak bilang semua ini demi bayi manusia. Makhluk yang ditakdirkan untuk disantap. Aku juga tak bilang ini sebuah jawaban pengakuanmu. Tapi ... begini saja. Bagaimana kalau kau bantu aku merawatnya, kemudian kita menikah. Kau dapat menganggapnya sebagai anakmu sendiri."
Terdiam, ada sisa cairan bening di matanya yang indah, di pipinya yang mulus. Kadang aku berpikir wanita yang tersenyum setelah menangis itu amatlah cantik. Dia menatapku tanpa berkedip. Mungkin bingung mau berkata apa, kikuk. Malu. Wajahnya mulai memerah.
***
Aku menemukannya di pertengahan Mei, tepat kala bunga-bunga putih, merah muda dan ungu mulai mekar di satu pohon. Tanaman itu memanjat tanaman lainnya, seperti ingin mendahului, seperti ingin mengungguli. Tapi kala mekar seperti itu, takkan ada satu mata pun yang menolak kecantikannya. Padahal amatlah beracun. Seperti itulah aku menamainya, Wisteria.
"Wisteria? Mm ... padahal rambutnya pirang."
"Apa kurang cocok?"
"Ah, ti-tidak. Itu nama yang cantik."
Dan hari-hari selanjutnya, wanita itu ... ah, maksudku istriku, Liliana, merawatnya dengan sepenuh hati, mungkin karena itu untukku juga.
"Lihat dia tertidur." Wajahnya tampak senang. Baguslah.
"Kau merawatnya dengan baik."
"Ah ya ... soalnya aku sering belajar banyak tentang manusia dari buku-buku di perpustakaan. Makanan mereka, cara hidup mereka, cara mereka mencintai."
Aku terdiam.
"Liliana," ucapku pelan. Takut si bayi lucu terbangun.
"Hm?" Kami duduk di atas kasur, pipinya bersandar di bahuku.
"Apa kau berpikir, kalau manusia itu sama dengan kita? Bukankah bayi manusia dan vampir itu terlihat mirip?"
Hening, tak ada jawaban. Malah tubuhnya terjatuh di pahaku. Tadinya sempat kaget.
Di luar angin merayu masuk mengibarkan tirai-tirai bening yang terpasang. Sesekali mengelus tubuh kami dengan cara yang halus. Cerah, langit biru seperti mata Wisteria.
Sedang wanita yang tertidur di pangkuanku, teramat cantik. Aku menepikan sedikit rambut yang menutupi pipinya sampai kembali ke sela telinga. Dia pasti kelelahan. Ya, setelah sibuk merawat seorang bayi dan suami, mungkin juga sisa dari menunggu seratus tahun.
"Maaf sudah merepotkan."
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Payung Hujan
Short StorySaatnya hujan. Siapkan kopimu, coklat panas barangkali. Sedikit kue saja pelengkapnya, ah mungkin mi rebus juga. Selamat membaca ...