Americano coffee

27 4 0
                                    

Kau senang memesan kopi di sini. Meminta para pelayan sibuk dengan menu yang kau pinta. Padahal hampir sampai tengah malam, kopi itu hanya kau aduk-aduk, menatapnya takjub bahkan tanpa menyesap sedikitpun.

Setiap hari begitu.

Kau datang, pesan menu yang sama: Americano dengan banyak gula. Kemudian tersenyum pada barista, membawa kopimu ke meja yang sama. Setiap hari, lakon dan tingkahmu seperti waktu yang diulang-ulang. Kau duduk, mengaduk-aduk kopimu, memandang kepulan asapnya sampai selesai, meletakkan uang pas di atas meja, kemudian pergi tanpa meminumnya.

Entah, apa kau sedang patah hati? Atau sebaliknya, kau sedang jatuh cinta? Atau kau gila?

Esoknya kau datang lagi, memesan menu yang sama, tersenyum pada barista dan membawa kopimu pada meja yang sama.

Ah, tapi kali ini kau membuat seisi kafe keheranan. Kau pesan dua americano, sedang di mejamu kini duduk seorang lagi, mungkin pria tampan yang kau cintai.

Kau tertawa, bersamanya. Tampak kalian serasi, bercanda penuh arti. Pemuda itu sangat perhatian, menanyakan banyak hal padamu. Hm ... Apa kalian lama tak jumpa?

Sudahlah. Yang jelas kau membuat semua orang senang malam ini. Tidak menambah cemas seperti malam-malam biasanya.

Kemudian lusa, terasa begitu cepat.

Kau datang lagi, memesan kopi yang sama. Sayangnya kali ini tak ada senyum untuk barista, tak ada seorang pemuda di meja biasa. Wajamu layu.

Aneh lagi kau tak duduk di meja itu. Kau berpaling entah kemana, mengundang penasaran. Lalu keluar lewat pintu utama.

Oh, rupanya sang barista penasaran. Mungkin dia juga, sebenarnya menaruh harapan yang besar padamu, menaruh perasaan yang besar padamu. Barista itu menguntit.

Kau pergi lewat jalan tikus. Menikung dari keramaian, menuju tempat teduh dikelilingi banyak pohon dan taman-taman. Terus berjalan, sesekali kau menengok ke belakang dan si barista cepat melompat ke belakang akasia, hampir saja ketahuan.

Mungkin selain barista, penguntit adalah bakatnya. Sepertinya dia sangat penasaran denganmu, dengan wajah cantikmu yang boleh jadi ingin dia miliki.

Kau terus berjalan.

Kini mulai menaiki banyak anak tangga. Di kanan kiri rentetan tanaman pucuk merah merah menjulang, di belakang sang penguntit tampak semakin penasaran, semakin ingin tahu apa yang sedang kau lakukan. Kemana?

Bunga-bunga terbentang di bawah, warna-warni dengan banyak jenis dan tampak terawat indah. Kupu-kupu pun takkan bosan menari di sini, bermain di sini, sampai jatuh cinta di sini.

Kemudian belok kiri, di kananmu pagar beton cukup tinggi, berderet cukup panjang. bertuliskan banyak kalimat selamat tinggal dan sebagian besarnya mengelupas berlumut. Tempat apa ini? Penguntit, barista berwajah rupawan itu tak pernah kemari.

Sampai pada satu gerbang. Kau masuk tanpa ragu, seolah sudah sering kemari.

Penguntit mendekat, mengintip, wajahnya berubah kaget. Ini kuburan! Yang benar saja?

Kau terus melangkah, hei untuk gadis cantik membawa secangkir kopi yang telah dingin di perjalanan kemari? Americano itu kopi hitam bukan? Kopi hitam ditengah kuburan.

Wajah barista seketika heran, seperti menduga-duga, curiga. Tampak setelahnya kau berhenti, di depanmu sebuah nisan, tanah pusaranya tampak masih baru. Dan jika ditarik garis lurus, sekitar dua meter di depanmu sebuah pohon beringin besar tumbuh.

Batang induk beringin sudah dililit anak akar, konon katanya akar-akar pohon itu memangsa batang sejati secara perlahan hingga tak tersisa. Hingga yang terlihat sekarang bukanlah batang yang besar, tapi kumpulan akar. Itulah alasan beringin di jadikan lambang persatuan.

Sedang terlihat daunnya menyebar di udara. Kau, kemudian jongkok di depan kuburan itu. Menaruh kopi tadi. Untuk apa? Kau mulai mengambil sesuatu di dalam tas, rupanya berbagai macam bunga dan kemudian kau taburkan di sekeliling kopi.

Mata sang barista sontak menyala, ia mulai mencari tempat, sembunyi di balik semak. Kaget melihat tingkah aneh wanita itu.

Dari kejauhan, cabang-cabang pohon beringin mulai bergoyang di tiup angin. Udara semakin sejuk, daun kering terbang berjatuhan, debu-debu melayang di udara. Kemudian awan-awan hitam bergumpal jadi satu di atas sana, suasana seketika mulai temaram.

Tubuh si penguntit tampaknya sudah merinding, matanya menjelajah ke langit, hatinya berdebar, ada rasa cemas yang entah apa tergambar dari sudut matanya. Gemuruh mulai terdengar. Angin semakin kencang.

Gadis kau masih di sana, ngapain?

'Blar!' petir menyambar, menyumbat pendengaran. Penguntit kaget sembari menutup telinga. Gadis tak hirau, masih di sana. Jongkok memandangi kopi dinginnya.

Bahaya, sudah mau hujan. Bagaimana kalau terjadi apa-apa.

Barista itu cepat berlari ke arah pohon beringin raksasa, dari dekat rupanya pohon itu lebih besar dari dugaan. Tepatnya ia menuju pada wanita itu.

Sudah dekat, dilihatnya punggung indah yang tertutup rambut panjang melambai mengkilap tertiup angin. Ingin menyentuh, ragu. Sedang pohon beringin bergoyang-goyang, angin bertiup begitu kencang, beberapa ranting sempat jatuh hampir mengenai mereka. Bodohnya wanita itu masih tak peduli.

Ah bahaya, barista mesti harus bergegas.

Ditepuknya pelan dengan ragu punggungmu. Kau kaget, melihat ke belakang dan seketika lamunanmu di atas bayangan secangkir kopi pudar detik itu juga. Ya ampun kau baru sadar kalau langit sudah mendung, petir menyambar-nyambar.

Barista bertanya, "sedang apa kau disini?"

Tadinya kau masih terheran, kenapa barista yang sering kau senyumi tiba-tiba ada di sini.

"Mbak! Ayo pergi, sudah mau hujan."

Tangan barista itu menarik lenganmu, kau pasrah. Tapi kemudian terhenti, di belakang tampak permukaan kopi itu bergelombang di tiup angin. Kau seperti tak ingin pergi dulu, tunggu dulu.

"Apa yang kau lakukan?" Kata si Barista.

"Sebentar, suamiku masih menikmati kopinya," sahutmu.

Barista itu menyipitkan matanya, dahinya mengkerut, alisnya hampir berhimpit, tampak heran. Tapi kemudian matanya terbelalak, kaget bukan main.

Kopi yang tergeletak di atas pusara itu tiba-tiba berkurang sedikit demi sedikit. Bau kemenyan dan busuk seketika menusuk hidung. Merinding, takut, barista menunjuk-nunjuk kopi itu.

"Haa," dia berteriak.

Kemudian dilihatnya dirimu, wanita langganan yang sering tersenyum padanya. Wajah mu pucat pasi, sebelah matamu tampak pecah berdarah. Dari mulutmu keluar belatung. Gaun hitam yang tadi kau kenakan kini putih serupa kain kafan, penuh bercak merah amis.

Barista itu menjerit kuat-kuat, melompat jatuh ke tanah. Seluruh badannya merinding hebat dan lekas lari terbirit-birit.

Lari lari lari, pokoknya lari. Dia tak hentinya mengambil langkah seribu. Ketakutan. Tak ingin kembali, menyesal, kapok.

***
Keesokan harinya.

Dia, barista yang sempat jatuh hati pada wanita itu bercerita panjang lebar pada temannya tentang kejadian kemarin. Kemudian seorang pelanggan datang menyela.

"Hei, apakah yang kau ceritakan itu wanita yang biasa pesan americano di sini?" Katanya.

"Ya, itu dia," sahut barista dan temannya.

"Namanya Lulia. Kau tak baca koran dua hari yang lalu? Dia dan suaminya yang lama terpisah jauh dibunuh sama begal malam itu juga. Padahal itu pertemuan mereka yang pertama setelah lama tak jumpa. Suaminya kerja di luar negeri," lanjut si pelanggan.

Semua terpana, terdiam. Seisi kafe merinding.

Barista pernah jatuh cinta padanya, menaruh rasa. Tapi harus merelakan, rela melepaskan.

Payung HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang