Penulis Gaib: Untuk Apa Menulis Surat Pada Orang yang Memilih Mati

27 6 0
                                    

Aku adalah pengantar surat. Bukan layaknya tukang pos, tapi hanya menulis surat untuk mereka yang hatinya terluka, lelah, penuh masalah, aku membantunya dengan sepucuk surat. Mereka menyebutku Penulis Gaib.

***

Malam ini tampak sangat ramai. Banyak orang berkerumun di depan gedung yang tak jauh dari taman.

Bunyi sirine polisi meraung bersahutan di susul para aparat yang berlarian ke arah kumpulan masa. Aku tak peduli.

Lebih memilih duduk sendirian dengan santai di bangku taman sembari menatap seorang gadis cantik di kejauhan. Tepat di puncak gedung itu.

Ngik!

"Kepada saudari Angel, diharapkan untuk segera menjauh dari tempat anda berada, dan kami menghimbau kepada anda juga agar segera mengurungkan niat anda."

Seorang pria berseragam polisi lengkap dengan perut buncitnya berbicara lantang pada gadis itu dengan pengeras suara.

"Oh, namanya Angel ... kampungan!" Mataku menyipit.

Banyak orang di bawah sana melambai pada gadis itu sambil berteriak-teriak. Aku menghela napas.

Menggeleng.

"Sayang sekali ... mengapa aku harus memandang kecantikan yang akan segera sirna. Memangnya masalah apa yang membuat wanita se-perfect dia sampai nekat berbuat seperti itu."

"Entah."

Aku terperanjat seketika. Hey, aku sendirian dari tadi, siapa yang jawab? Cepat kutoleh suara di samping.

Aku memandangnya dengan tatapan horor.

"Lu liat gua kek liat setan aja."

Ternyata Joe. Kubalas nyengir.

"Hehe. Iye, gua baru nyadar kalo jomblo itu mengerikan. Datang tiba-tiba kek ajal."

Pria tampan itu tersenyum geli.

"Eh, tu cewek ngapain di atas gedung?" Lanjutnya.

"Mau bunuh diri."

Wajah Joe terlihat sangat biasa, seolah sudah sering melihat adegan ini. Ah, aku baru ingat kalau dia seorang detektif.

"Lu kan penulis gaib yang lagi tenar itu. Kenapa gak nulis surat sekalian buat dia," tanya Joe.

Hening.

Terlihat tim khusus sudah berdatangan. Beberapa dari mereka bersiaga di halaman gedung, sedang sebagian lainnya naik ke atas, mencoba berbicara dengan si gadis.

Tapi Joe malah sedang asyik-asyiknya memandang wajahku, menunggu sebuah jawaban terlontar.

"Joe ... surat yang gue tulis itu cuma sekumpulan kalimat yang mungkin dapat menyentuh hati, tapi gak selalu bisa nyelesein masalah. Nih," aku menyodorkan buku kecil padanya.

Ia lantas membalik setiap lembarnya dengan serius. Sahabatku itu selalu jeli dalam memperhatikan segala hal.

"Gila!"

Joe tiba-tiba terkaget, lalu menatapku sambil menggelengkan kepala.

Di buku itu, tercatat seribu enam ratus surat yang sukses menyelesaikan masalah dalam tiga tahun terakhir.

Lalu tiga ratus tujuh puluh tiga surat gagal total, bahkan seratus enam puluh tiga kasus di antaranya berujung kematian. Semua itu terjadi di depan mataku.

"Tak mudah menjadi seorang penulis gaib, Joe. Terlebih saat melihat banyaknya kejadian yang merenggut nyawa orang tanpa dapat kau selamatkan."

Hening. Joe tertunduk, bingung ingin berkata apa sambil matanya sesekali melirik si gadis.

Payung HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang