[Flashback on]
Aku tertangkap basah oleh Joe saat sedang asyik-asyiknya melempar satu per satu tumpukan surat ke udara.
Terus melempar sambil bersenandung ria sampai tak menyadari kehadirannya. Sebab kupikir sudah sore dan semua warga sekolah sudah bubar sejak tadi.
Sampai surat terakhir, kulempar begitu saja lalu, 'plup!' Surat itu hilang bagai lenyap tiba-tiba.
Setelahnya kusadari seorang pemuda berseragam putih abu-abu berdiri di depan pintu kelas sambil mengarahkan kamera ponselnya padaku dengan gemetar. Permen loli yang semula di mulutnya jatuh ke lantai.
Matanya membulat seperti aku.
"Astaga!"
Remaja berhidung mancung itu perlahan melangkah mundur, aku masih menatapnya. Dia lari dan kabur seketika.
"Oh, sial!"
Aku melompat dan cepat mengejar. Kami berlarian kencang di antara lorong-lorong, menuruni anak tangga, melompati jendela menuju ke ruangan lain. Joe terus berlari dalam keadaan panik.
"Berhenti!"
Ia tak jawab. Derap langkah menggema di sepanjang ruangan.
Sesekali Joe menoleh ke belakang, aku dapat melihat wajahnya yang begitu ketakutan seolah dikejar setan. Yang benar saja, aku setan?
Hampir tanganku dapat meraih bajunya. Namun lagi-lagi ia melompat menyamping, menaiki tangga baja dengan lincah seolah kaki dan tangannya hanya menyentil benda itu dan tiba-tiba sudah berada di atap.
Sekarang aku benar-benar kesal. Seharusnya tak boleh ada satu pun orang yang melihat bagaimana caraku mengirim surat. Aku tak pernah melakukannya di depan siapapun karena itu sebuah larangan, kecuali dia. Anak itu harus dilenyapkan.
Kini kami di atas atap, masih bekejaran sambil melompat-lompat, salto, berjalan di atas tongkat besi melewati tangki-tangki air dengan badan lentur bak dua atlet parkour sedang berlatih.
Tiba-tiba kaki Joe tersangkur oleh kepala baut besar yang mencuat diantara lempengan besi bagian atas tangki. Ia terjatuh, tubuhnya menghujam lantai semen dengan kerasnya.
Aku cepat turun meringkus, menarik dua lengannya kebelakang hingga berbunyi, krek!
"Akkhh ...." Ia merintih.
"Diam!"
Pemuda itu sempurna tengkurap di bawahku. Kilapan baja pipih belati yang tadi menggantung di pinggang cepat kuacungkan sampai menyentuh pipinya hingga tergores kecil.
"Tu--tu--tunggu! Sebelum aku mati, kau harus mengambil sesuatu di saku celanaku."
Mataku menyupit, bingung. Kutengok sebuah android terselip di sana dan lantas kuambil.
"Apa ini?"
Tampak di layar angka-angka yang berhitung mundur, lalu di bawahnya tertulis 'Upload File'. Joe tersenyum licik.
"Cepat katakan!"
Ia sedikit kaget.
"Aku merekam aksimu saat melempar surat dan mengunggah videonya dalam waktu tiga puluh menit. Jika kau bersedia melepaskanku dan membuat kesepakatan, akan kubatalkan pengiriman itu untukmu," godanya.
Sial, anak ini ternyata sangat cerdas. Lengah sedikit saja sudah berakibat fatal. Aku mengangkat ponselnya, berniat membanting.
"Tunggu! Percuma kau lakukan itu."
Mataku kembali menyipit.
"Kenapa?"
"Pengiriman sebenarnya sudah di proses melalui komputer di rumahku secara otomatis, android itu hanya timer belaka. Aku mengirimkan perintah dengan benda itu. Dihancur pun percuma. Jika kau mau, aku bisa mengirim perintah pembatalan. Tapi lepaskan aku dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Payung Hujan
Short StorySaatnya hujan. Siapkan kopimu, coklat panas barangkali. Sedikit kue saja pelengkapnya, ah mungkin mi rebus juga. Selamat membaca ...