Malam

29 5 0
                                    

Sedan hitam dengan lampu berkilap ribuan cahaya menyilaukan, memantapkan kesan mewah dan elegan parkir di depan sebuah tempat terpencil. Seorang tengah berkomat-kamit di dalamnya, memanjatkan doa-doa, dzikir-dzikir dan mulai melepas imamah melilit di kepala.

Kemudian jubah putihnya disampirkan di atas dasbor mobil, matanya memejam sebentar. Seolah didengarnya bisikan iblis dari kejauhan.

Sempat terlihat beberapa pasang muda-mudi sampai yang tua keladi keluar dari sebuah gerbang yang dijaga beberapa pria bertubuh kekar sambil tertawa, sempoyongan. Kedua tangan mereka bergandeng, sisanya menenteng botol bercap bintang lalu tertawa lagi, berjalan gontai dan sesekali hampir jatuh.

Pemuda di dalam mobil sedan itu ternyata tengah mempersiapkan kostum sendiri di balik jubahnya yang sudah terlepas. Baju ala berandal dilapis jaket hitam.

Kemudian tasbih itu, dilihatnya sebentar pemberian dari sang ayah yang telah wafat berwindu-windu yang lalu. Lantas dikalungkan di leher, ditutup dengan kerah kaos hitamnya agar tidak terlihat.

Entah sejak kapan dia seperti ini, hanya yang diingatnya jadwal pabila tiap malam jum'at, ia akan datang ke tempat yang sama. Di sini. Bahkan jika tak sibuk mengajar di pesantren dia bisa datang dua sampai tiga kali seminggu dan tentunya hanya di malam hari.

Seolah hatinya berbisik, menyebut asma suci sang pencipta sampai pada akhirnya beranjak bismillah. Dia keluar dengan gagahnya, berhidung mancung dan jenggot yang tak terlalu tebal, kulit putih bersih dan mata tajam itu masih menggambarkan usia muda.

Tiba di depan gerbang, pria-pria kekar dan pemuda hanya bersitatap dengan senyum. Sudah sering jumpa tiap minggu.

"Waaah, Brother! Pelanggan setia, mari duduk sini."

Seorang berjas hitam, boleh jadi bertampang bajingan menghampiri sambil menyapa. Merangkul seperti biasa.

"Aku punya yang baru, seperti yang kau pesan biasanya."

Pemuda terdiam sebentar.

"Apa aku bisa mendapatkannya tiap minggu?"

"Hmm ... Biasanya kami baru punya yang baru sebulan sekali."

"Bagus."

"Bgus? Apanya, Bro?"

"Tidak, lupakan saja. Aku ingin cepat."

"Hahaha, kau memang penuh misteri. Baiklah baiklah. Ini kuncimu, selamat bersenang-senang. Kamarnya di atas, nomor tiga belas."

Pemuda hanya mengangkat alis dengan senyum sekedar. Disambutnya kunci itu dan lekas berjalan menuju lorong-lorong yang di kanan-kirinya terdapat pintu-pintu kamar untuk dipesan anak-anak iblis yang haus keringat.

Kemudian para wanita berkostum binatang, minim pakaian, duduk menunggu di depannya sesambil merayu-rayu tiap lelaki yang tengah memilih atau sekedar lewat seperti pemuda.

"Hei, Brother!" Teriak lelaki berjas hitam tiba-tiba kembali.

Pemuda terhenti, menatap setengah berpaling pada bule itu. Sedikit mengernyit padanya.

"Aku lupa, pesananmu itu dari desa. Kujamin cantik dan bodinya bagus, tapi sepertinya masih lugu."

"Ok, no problem. I take her."

"Hoho, yeah. You are the best, Brother. I like you!" Sahutnya sambil terbahak.

Menuju tangga beton, naik ke atas. Sepertinya beberapa fasilitas kamar di sini sedikit diperbaharui agar tampak lebih nyaman. Itu tentu bukan kabar baik.

Melewati para penggoda, tak tanggung. Sesekali bahkan ada wanita yang sudah telanjang bulat di depan pintu sambil mengembuskan asap rokok diantara bibir tebalnya yang merah gincu. Entah pesanan siapa.

Payung HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang