Thalita bersama Amanda sedang duduk di ayunan yang berada di pekarangan rumah mereka. Wajah mereka terlihat murung tak secerah sinar mentari yang kini bersinar terang.
"Ma, Manda bingung harus bagaimana lagi menghadapi Alfa. Dia semakin hari semakin tampak murung tidak seperti dulu." Mata Amanda berkaca-kaca menerawang kembali keadaan anak tunggalnya.
"Kamu harus sabar, Man! Mama paham bagaimana perasaan kamu saat ini. Tiga bulan sudah keadaan Alfa benar-benar terpuruk karena Cassy." Thalita mengusap lembut punggung menantunya.
Amanda hanya diam menerima usapan lembut dari mertuanya yang sangat menenangkan. Dalam diam Amanda tiba-tiba ingat dua orang gadis yang kemarin mereka temui di taman.
"Ma, apa mama yakin kita mau minta bantuan Aga? Gadis yang kemarin kita temui di taman." Amanda menatap Thalita penuh harap.
Thalita mengalihkan pandangannya ke depan, "Mama masih bingung, Man. Ini masalah hati, mama khawatir nanti pada akhirnya akan menyakiti atau lebih parah mengecewakan mereka berdua."
Amanda mengerti apa maksud dari ucapan mertuanya. Akan tetapi menurutnya ini adalah jalan satu-satunya.
"Tapi, Ma, ini jalan satu-satunya. Feeling Manda bilang Aga bisa menjadi obat untuk Alfa." Amanda mencoba meyakinkan mertuanya.
"Mama juga yakin seperti itu, Man, tapi ini sangat beresiko." Terlihat kebingungan di mata Thalita.
"Kita harus berani mengambil resiko itu, Ma, demi putra tunggal keluarga kita." Amanda tetap bersikeras.
Akhirnya Thalita pasrah, ia pun mengangguk menyetujui.
Amanda tersenyum senang karena mertuanya setuju. Ia sangat tidak sabar untuk bertemu Aga lagi nanti siang.
***
Di taman seperti biasa tampak ramai dengan orang yang berlalu lalang dan beberapa anak kecil yang bermain. Tidak lupa beberapa pedagang pun ikut andil dalam keramaian taman.
Aga dan Ale pulang sekolah berjalan santai menuju tempat janjian mereka dengan dua orang asing kemarin.
"Lo udah yakin, Ga?" tanya Ale di tengah perjalanan.
Aga hanya mengangkat bahu, "Kita lihat saja! Kita atau mereka sama-sama membutuhkan."
Tidak lama berjalan, mereka sudah melihat dua orang wanita dewasa sedang duduk di bangku taman. Aga menatap dua orang itu, pastinya bukan mereka tapi anak kecil yang berada bersama mereka.
Aga menghampirinya dengan tergesa.
"Kania!" panggil Aga dengan nada khawatir karena melihat bekas air mata di pipi Kania.
Kania yang menyadari kehadiran sang kakak langsung berlari memeluk Aga.
"Kamu kenapa?" tanya Aga pelan.
"Tadi Nia main sama Juna sama Vian terus di jalan ujung sana waktu Nia ngejar mereka tiba-tiba ada motor, Nia keserempet." Kania menunjukkan luka di tangan dan kakinya dengan air mata yang kembali membanjiri pipinya.
Aga menggendong Kania, "Ya sudah jangan nangis lagi! Nanti lukanya sembuh kok,"
"Ga, itu Juna sama Vian," Ale menunjuk dua anak kecil yang tampak kebingungan.
"JUNA, VIAN!" teriak Aga memanggil dua anak itu.
Juna dan Vian yang melihat Aga, Ale juga Kania langsung berlari menghampiri mereka.
"Kak, maaf kami tidak bisa menjaga Nia," kata Juna setelah menyalimi Aga dan juga Ale.
"Iya nggak pa-pa, sekarang kalian ajak Nia pulang ya! Bilang sama bunda atau kak Sima untuk segera mengobati lukanya."
Kedua anak kecil itu mengangguk. Kania pun turun dari gendongan Aga dan menggandeng tangan Juna juga tangan Vian dan mereka kembali pulang sesuai perintah sang kakak.
Aga mengalihkan pandangan pada dua orang wanita yang sedari tadi hanya diam memperhatikan mereka.
"Maaf oma, tante. Kalian jadi harus menunggu," kata Aga merasa bersalah.
"Nggak pa-pa, Ga. Ayo sini kalian berdua duduk!" seru Thalita.
Aga dan Ale menuruti. Setelah keduanya duduk, mereka masih diam mempersiapkan apa yang akan mereka sampaikan.
"Boleh oma yang cerita dulu?" tanya Thalita.
Aga mengangguk sopan, dan Ale hanya tersenyum.
"Di keluarga oma hanya mempunyai seorang putra tunggal, namanya Nathaniel Gio Alfaro." Thalita memulai cerita, "dulu dia sangat ceria dan selalu membawa kebahagiaan untuk keluarga."
"Tapi sejak tiga bulan yang lalu, saat sahabat dan juga cinta mengkhianatinya, kini keceriaan dan kebahagiaan keluarga menghilang." Thalita menunduk sedih, "Alfa setiap hari selalu murung tak bersemangat. Selalu cuek dan dingin meski pada keluarganya sendiri."
Setetes air mata lolos di pipi Thalita. Amanda yang melihatnya langsung memberikan saputangannya pada Thalita. Karena melihat mertuanya sudah tidak sanggup lagi melanjutkan ceritanya, ia mulai mengambil alih.
"Tentang tawaran yang kami berikan kemarin, kami ingin kalian membantu kami mengembalikan keadaan Alfa seperti sedia kala," ada tatapan penuh harap dari mata seorang ibu, "tante maupun oma tidak akan memaksa kalian. Kami ingin jawaban yang tulus dari hati kalian."
Aga dan Ale saling bertukar pandang sejenak. Tak lama keduanya mengangguk.
"Oma, Tante, Aga akan berusaha membantu kalian," jawab Aga yang merubah binar di mata Thalita maupun Amanda.
"Aga, kamu yakin 'kan?" Amanda masih sedikit tidak percaya.
Aga mengangguk mantap untuk meyakinkannya.
"Aga, tugas ini tidak mudah. Alfa bukan seperti remaja pada umumnya. Sekali ia merasa nyaman sama satu orang, dia akan tetap mempertahankannya meski itu menyakitinya." Thalita kembali bicara.
"Oma, Tuhan menciptakan hati bukan dari batu yang tidak bisa dilelehkan. Aga yakin hati Alfa pun sama seperti kita semua. Secuek atau sedingin apa pun Alfa saat ini, percaya sama Tuhan dia pasti kembali menjadi Alfa yang dulu." Aga menampilkan senyum yang mampu menenangkan.
"Kalaupun nantinya Aga tidak berhasil, kalian harus yakin bahwa Tuhan memiliki rencana untuk keluarga kalian."
Thalita memeluk Aga penuh haru begitupun Amanda yang juga memeluk Ale.
"Aku tidak tahu apa takdir Tuhan untuk kita semua. Aku hanya akan menjalankan apa yang sudah menjadi rencana kalian. Dan apa pun yang terjadi nanti, entah rencana kalian sama atau berbeda dengan rencana Tuhan, aku hanya akan menjalaninya dengan keyakinan."
Tawa, tangis, luka dan segala rasa itu semua berasal dari Tuhan. Jangan pernah kau menyesalinya, tapi yakinlah apa yang kau usahakan hari ini tidak akan mengkhianati hasilmu di hari nanti
Queennquee
KAMU SEDANG MEMBACA
Agatha
Teen FictionJika kehadiranmu sebagai penyembuh dari lukaku, maka kemarilah aku akan memelukmu erat dengan semua cinta yang ku punya! - Nathaniel Gio Alfaro Aku pahit seperti obat, tapi aku bisa menyembuhkan lukamu jika kamu menerima kehadiranku. - Agatha Valerr...