Alfa duduk termenung memandang wajah pucat seorang gadis dengan paras ayu yang masih setia memejamkan matanya. Ia menggenggam tangan gadis itu dan mengusap pipinya perlahan.
Terlihat betapa besarnya rasa sayang yang dimiliki oleh Alfa untuk gadis itu. Gadis yang baru beberapa bulan terakhir ia temui tapi mampu menyembuhkan lukanya di masa lalu.
Gadis itu bagai obat pahit yang mampu menyembuhkan jika kau mau menerima kehadirannya. Itulah yang dirasakan seorang pemuda dengan perawakan tinggi, rahang tegas, hidung mancung dan memiliki senyum manis dari bibirnya yang tipis.
"Ga, maaf gue nggak bisa jagain lo dengan baik. Harusnya waktu itu gue ngelarang lo buat bolos." sesal Alfa. "Siapa sih orang itu? Orang yang sangat penting buat lo dan membuat lo harus bolos sekolah demi ketemu dia?"
Tidak ada jawaban yang keluar dari pertanyaan Alfa. Aga masih tetap memejamkan matanya tanpa sedikit pun terganggu dengan ucapan Alfa.
Alfa menunduk sedih. Dalam hati ia berkata, "Gantikan posisi Aga denganku, Tuhan. Jangan kau biarkan Aga terbaring lemah seperti ini. Dia orang yang sangat Alfa sayangi setelah keluarga Alfa."
Alfa menaruh kepalanya di samping tangan Aga, tak berapa lama ia pun terlelap. Dari arah pintu muncul seseorang yang sedari tadi sudah mendengar apa yang di ungkapkan Alfa.
Dia datang dan menghampiri gadis yang sangat disayanginya. Tanpa suara ia mendekati Aga. Ia mengusap lembut pipi Aga kemudian mencium puncak kepalanya sekilas.
"Bangun, Val, lo harus lihat di sini ada seseorang yang sangat sayang sama lo. Bangun sebelum semua terlambat dan lo menyesalinya. Bangun dan katakan sejujurnya apa yang selama ini lo sembunyikan dari dia. Jangan pernah menyakiti orang yang tulus sama lo."
Setelah berbisik di telinga Aga, dia keluar dan duduk di bangku panjang yang berada di depan ruang rawat Aga. Dari arah berlawanan, seorang wanita berjalan mendekatinya.
"Li, kamu kapan datang?" tanya Dian saat sudah berada di dekat pemuda itu.
"Udah lama kok, Bun! Bunda dari mana?"
"Dari ruang dokter, tadi dokter bilang Aga cuma demam aja karena hujan." kata Dian. "Oh, ya, kamu belum lihat keadaan Aga?"
"Sudah kok, Bun, ini baru keluar!" jawabnya, "Valle belum mau bangun meski sudah merasakan kehadiranku. Mungkin dia nunggu pagi."
Dian tertawa kecil, "Kamu ada-ada saja, ya sudah bunda lihat Aga dulu ya!"
"Jangan, Bun!" cegah pemuda itu.
Dian melihatnya kaget, "Kenapa, Li?"
"Alfa baru tidur, kasihan nanti kalo terbangun."
Dian mengangguk mengerti, "Kalo begitu bunda pamit pulang ya, kamu disini jagain mereka!"
"Biar saya anter bunda pulang dulu, setelah itu kesini lagi,"
Dian tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya tersenyum dan mengangguk. Mereka berjalan beriringan keluar rumah sakit.
Diperjalanan mereka membicarakan banyak hal. Mereka sudah seperti ibu dan anak sama seperti Dian dan Aga. Meskipun pemuda itu tidak tinggal di rumah asuh tapi mereka sering bertemu.
Setelah hampir setengah jam perjalanan, mereka sampai di rumah asuh. Dian langsung turun dan mengajak pemuda itu mampir, tapi pemuda itu menolaknya dengan sopan.
Pemuda itu kembali melajukan mobilnya untuk kembali ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit ia melihat keadaan Aga. Aga masih tetap tertidur dengan Alfa di sampingnya.
Pemuda itu kembali keluar dan duduk di bangku semula sebelum ia mengantar Dian. Malam semakin larut, suasana rumah sakit pun sudah sepi. Pemuda itu akhirnya tertidur di sana.
Esok paginya, pemuda itu terbangun karena suara ramai rumah sakit. Ia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya kemudian berlari meninggalkan tempatnya. Ia berlari menuju musholla rumah sakit untuk sholat.
Kembali dari musholla, ia ke kantin untuk memenuhi kebutuhan cacing-cacing dalam perutnya. Setelah puas ia baru kembali ke kamar Aga.
Sampai di kamar Aga, ia melihat Aga yang sudah bangun dari tidurnya. Di sampingnya Alfa pun sudah terjaga. Mereka tampak ngobrol sesuatu yang serius. Perlahan pemuda itu membuka sedikit pintu kamar Aga untuk mendengar apa yang mereka bicarakan sepagi ini.
Mereka terus bicara dengan sedikit perdebatan. Aga tampak menunduk sedih, Alfa tampak frustrasi. Entah apa yang mereka perdebatkan, tapi pemuda yang sedari tadi mendengarnya hanya tersenyum seraya geleng-geleng kepala.
Tiba-tiba seorang dokter dan suster datang. Pemuda itu mempersilakan mereka masuk dan ia kembali duduk di bangku. Tidak lama dokter itu keluar. Ia kembali mengintip ke dalam kamar Aga.
"Lo nggak sekolah, Al?" tanya Aga.
Alfa menggeleng, "Gue di sini aja jagain lo!"
"Ciee, yang khawatir sama gue,"
"Gue khawatir karena gue sayang sama lo,"
Aga diam. Suasana hening seketika.
"Bentar lagi palingan Ale kesini, bunda sama kakak juga pasti kesini ntar," ujar Aga memecah keheningan.
"Biarin aja mereka ke sini," jawab Alfa cuek.
"Ya udah kalo gitu kamu sekolah, kan nanti aku banyak yang nemenin!"
Alfa menatap serius wajah Aga. Yang ditatap tampak menunduk menahan malu.
"Ya udah aku berangkat sekolah,"
Alfa bangkit dari duduknya dan mendekati Aga. Ia mengusap rambut Aga dan membenarkan anak rambut yang sedikit berantakan. Tidak disangka, Alfa mencium puncak kepala Aga.
Aga yang mendapat perlakuan seperti itu tidak bisa menyembunyikan rona merah di pipinya. Alfa tersenyum melihatnya.
"Ya udah, aku berangkat! Jangan lupa minum obat ya, nanti pulang sekolah aku langsung kesini lagi."
Aga hanya mengangguk. Alfa keluar kamar dan segera pulang. Pemuda yang sedari tadi di luar kini masuk ke dalam. Aga yang melihatnya tampak sangat gembira.
"LION!"
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Agatha
Teen FictionJika kehadiranmu sebagai penyembuh dari lukaku, maka kemarilah aku akan memelukmu erat dengan semua cinta yang ku punya! - Nathaniel Gio Alfaro Aku pahit seperti obat, tapi aku bisa menyembuhkan lukamu jika kamu menerima kehadiranku. - Agatha Valerr...