Bagian 4

346 27 0
                                    

Di mobil.

Aku menatap keluar jendela mobil. Bukan melamun, ini hanya kebiasaanku kalau aku berkendara. Aku lebih suka melihat jalanan yang penuh mobil atau kalau beruntung aku bisa melihat barisan pepohonan dan hamparan hijau kebun teh. Oke aku tidak akan menjumpai kebun teh. Ini di tengah kota.

Sekilas aku memikirkan Aiden. Apa yang dia lakukan sekarang? Kalau dipikir lebih jauh, sepertinya aku tidak begitu tau apa saja kegiatannya. Ini Sabtu sore. Mungkin di gym.

Aku mengambil ponsel dan membuka chatnya. Terakhir dia membalas pesanku tadi pagi dan aku belum mengirim pesan apapun setelahnya. Aku mengetik cepat "Lagi apa?" lalu aku mengirimnya.

Di sebelahku, Willdan duduk santai sambil memainkan smartphonenya. Aku hanya meliriknya sekilas lalu kembali menatap jalanan.  

Tiba-tiba Willdan menyentuh puncak kepalaku, lalu berbisik pelan "Mikirin apa sih?"

Aku menoleh padanya sekilas, lalu kembali melihat ke arah jalan. Tidak menjawabnya. Willdan terus memainkan rambutku. Dan anehnya aku sama sekali tidak merasa risih dengan hal itu. Dia seperti saudara yang selalu bersamaku. Dia terasa sedekat keluarga untukku. Tidak ada getaran seperti saat aku bersama Aiden. Hanya rasa nyaman.

"Mikirin pacar kamu yang ga bales chat ya? DIcuekin ya? Kasian amat sih ni bocah." Katanya lagi dengan nada menjengkelkan yang biasanya. 

Aku cuma menghembuskan napas panjang dan dia kembali duduk ke posisi semula. Sibuk dengan smartphonenya. Sebenarnya, sampai sekarang dia belum tau siapa pacarku. 

"Cewek kamu tau kamu ke Bandung?" tanyaku akhirnya.

Tanpa menoleh padaku dia mengangguk. "Ini lagi chat" katanya.

Sesaat kemudian dia memperlihatkan chatnya kepadaku. "Dia minta password fb lagi. Padahal baru aku ganti biar dia ga buka akun aku sembarangan."

"Terus kamu kasih?" 

"Engga lah, makanya dia marah."

Aku membaca chatnya yang menurutku lucu. Mereka memperdebatkan hal sepele yang menurutku seharusnya tidak perlu dibahas. 

Ponselku bergetar. Pesan dari Aiden.

"Malem minggu, mau pacaran lah." balasan singkat itu berhasil membuatku mencebikan bibir. 

Dengan cepat aku membalasnya. "Pacaran sama siapa coba.. Tega.. Aku juga mau malem mingguan ah."

Dan dia cuma membalas "Pacaran sama cewek lah. Iyah sok malem mingguan. Selamat pacaran."

Kalimat terakhirnya tanpa sadar berhasil mendesak air mataku keluar. Aku mematikan ponselku tanpa membalas pesan Aiden. Mungkin dia bermaksud mengajakku bercanda. Hanya saja, entah mengapa aku sedih saat membacanya.

"Nangis lagi?" Tanya Willdan sambil mengusap sudut mataku dengan ujung jarinya. Tidak kusangka Willdan memperhatikan.

"Siapa yang nangis?" 

Aisshh jelas aku membantah. Kenapa juga dia harus memperhatikanku. Aku tidak mau dia mengejekku dan membahas hal-hal seperti ini saat kita bertemu. Sudah cukup dia menceramahiku saat di telpon.

"Jadi, Aiden?" gumamnya pelan.

"Kamu baca chat aku ya?" kataku dengan nada kesal. 

"Ga sengaja."

Aku diam saja mendengar pembelaannya. Tidak sengaja katanya?

"Kenapa ga bilang kalau kamu sama Aiden? Takut aku larang?" katanya lagi.

"Kamu ga tanya." jawabku singkat.

"Bukan urusanku juga sih."  Willdan mendesah kesal.  "Kalau aku bilang ga boleh juga kamu ga akan nurut kan?"

Aku tetap diam . Sebelum dia tau aku berpacaran dengan Aiden saja, dia sudah setengah tidak suka. Dengan alasan yang sebenarnya aku tau. Alasan prinsip. Dan aku tidak setuju dengannya.

"Dia tau kamu lagi sama aku?" tanyanya lagi.

"Entah."

"Dia bilang selamat pacaran. Kamu cerita lagi pergi sama aku?"

"Aku ga bilang."

"Jadi kita jalan diem-diem nih. Kenapa berasa selingkuhan ya." Ada nada jenaka di balik kalimatnya, tapi aku sedang tidak ingin bercanda.

"Dia ga tanya." gumamku singkat.

"Kalau dia tanya, kamu jawab?"

"Iya."

"Bilang lagi sama aku?"

"Iyalah."

"Ga takut dia marah?"

"Engga. Kalau dia percaya aku, harusnya ga marah."

Willdan tidak berkomentar. Kami sudah dua puluh menit lebih di mobil. Malam minggu begini jalanan macet. Apalagi tadi sempat salah jalan dan kami melewati jalur satu arah. Padahal jarak dari tempatku ke tempat yang mau dituju tidak terlalu jauh.

Hening.

Willdan tiba-tiba menyentuh keningku. 

"Kamu belum makan ya?" tanyanya pelan.

"Kapan? Sore?" 

Dia mengangguk.

"Belumlah, kan ini keluar mau makan." jawabku. Aku baru sadar setelahnya kalau nada bicaraku jadi ketus.

"Galak amat. Badannya panas sih ya, jadi galak." komentarnya.

Aku tidak menanggapi. Merasa bersalah. Aku juga heran. Kenapa aku jadi marah padanya. 

"Cha.." 

"Hm?"

"Kamu yakin sama dia?"

Kenapa juga Willdan bertanya begitu..

"Apa?"

"Aiden. Kamu serius sama dia?"

"Iya. Kenapa?"

"Dia serius sama kamu?"

"Sepertinya."

"Kenapa jawabnya ragu gitu sih? Bikin kesel."

Aku tidak bisa menjawabnya. 

"Terus kenapa kamu masih suka nangis?"

Aku juga cuma diam. Ada beberapa hal yang bisa kukatakan. Tapi ada lebih banyak hal yang tidak bisa kujelaskan. Bahkan untuk diriku sendiri, aku masih sulit memahaminya. 

Willdan mengenal Aiden. Begitupun sebaliknya. Aiden tau aku berteman akrab dengan Willdan, karena sebelum aku berpacaran dengannya pun, kami sudah dekat. Tapi belakangan ini aku merasa kalau Aiden sedikit tidak suka..

Apa ini sejenis kecemburuan (?) Aku justru menganggapnya keraguan. Apa dia berpikir kalau aku menyimpan secuil perasaan untuk Willdan? Pertanyaan ini yang membuatku sedih. Keraguan darinya ini yang membuatku menangis.

Teruntuk Aidenku.

Jangan meragukanku, Sayang.  Aku bukan perempuan yang mudah goyah. Aku bahkan pernah terus terbang ke atas walau sayapku patah. Saat aku menjatuhkan pilihanku padamu, aku bukan sekedar bilang iya dengan senyum merekah. Aku tulus memohon padamu untuk tetap bersamaku walau mungkin ini tidak akan mudah. 

Aku akan menunggu. Toh menunggu sudah jadi keahlianku.  Air mataku? Kau tidak perlu tau. Ini bukan salahmu. Ini salahku yang tidak bisa mengendalikan hati dan sering berprasangka tanpa arti.  Ini salahku yang tidak bisa mengendalikan pikiran liarku yang takut kehilanganmu.

Aku tau, menggenggam terlalu erat sama seperti memaksamu untuk terlepas. 

Tapi, aku menginginkanmu. Aku ingin kau yakin padaku. Aku ingin kau jadi masa depanku.

Apa boleh aku menjadi sedikit egois soal ini?


(Yaaaakkkk terima kasih untuk yang sudah berkenan membaca cerita ini.... Semoga cerita ini bisa lanjut sampe tamat tanpa tergoda rilis judul baru...... Semoga yang baca terhibur ^^)




[ E N D ] Bandung dan Kenanganku TentangmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang