Bagian 19

246 12 0
                                    

Teruntuk Aidenku.

Teman adalah teman. Dan kau tak perlu bingung mempertimbangkan sayang. 

Tak tau apa lagi yang harus kukatakan padamu untuk membuatmu yakin terhadapku. Mungkin memang tak sebanding dengan standarmu. Tapi kau akan melihat upayaku. Mungkin sakit hatiku, banyak air mataku tertumpah  karena kebodohanku dalam mengasihimu. Tapi kau tak perlu memikirkannya.

Semua kesalahan itu mungkin memang asalnya dariku. Bukan tidak dewasa atau kurang memahami. Namun kaulah yang menghindar, mencari alasan, dan tidak ingin dimengerti. Maafkan segala keinginanku yang mungkin tak sejalan dengan keinginanmu.

***

"Cha, kamu ga boleh nyakitin diri kamu sendiri. Kalau kamu cape, ya istirahat dulu. Laki-laki bukan cuma dia. Banyak yang sayang sama kamu, dan mungkin lebih dari dia." Kata Willdan saat kami berjalan melewati jembatan menuju tempat tinggalku.

"Kamu urus aja urusan kamu sendiri. Kamu ga kenal dia..ga usah sok ngasi tau." gumamku perlahan.

Willdan menarik napas panjang.

"Iya. Itu hidup kamu. Kamu yang jalanin. Kamu yang rasain. Kalau kamu jatoh, sakit, nangis, aku cuma bisa ngetawain dari sini." Katanya lagi dengan nada jengkel.

Aku diam saja.

Tak lama kemudian, kami sampai di depan gerbang kos yang kutempati.

"Sana pulang." Kataku dengan nada setengah mengusir namun juga nada kesal setengah bercanda.

Willdan tertawa. "Dih ngambek."

"Apaan, engga"

"Jelas ngambek gitu. Kamu ga suka kan aku nasehatin soal dia? Ya udah lah. Terserah kamu. Yang rasain sakit hati juga kamu." Katanya lagi.

Aku cuma menatapnya.

Aku tau ini perjumpaan terakhir dengannya di luar pekerjaan. Aku berharap dia bisa terus jadi temanku. Walaupun aku tau itu agak sulit saat dia sudah menikah.  Pertemanan beda gender memang terdengar aneh kan. Mereka selalu berasumsi ada hubungan spesial dan lain sebagainya.

Sepuluh menit berlalu. 

"Jemputan aku udah dateng." Kata Willdan sambil menatapku lekat-lekat.

"Oke. hati-hati di jalan." gumamku singkat.

Willdan memelukku sekilas. "Aku pulang ya, Cantik."

Aku mengangguk. 

"Nanti aku hubungin pas aku udah sampe kos aku." katanya lagi.

Dia tersenyum padaku dan aku juga hanya mengantarnya dengan sebuah senyuman.

Akhirnya Willdan berlalu dari hadapanku.

Tapi rindu kelabu itu justru menghantuiku. Rinduku untuk Aidenku.

Aku menatap langit sore yang mulai terlihat kuning kemerahan lalu menarik napas panjang. Menghirup udara sore hari yang anehnya terasa melegakan. Aku memejamkan mata dan benar-benar merasakan kelembutan belaian angin senja di pipiku. Rambutku terurai. Berlarian dibuai udara bergerak kota Bandung yang penuh kenangan.

Sekali lagi. Teruntuk Aidenku.

Sayang, aku rindu. Sayang, aku ingin bertemu. Sayang, aku menginginkanmu. Bisakah sekali ini saja aku egois dan mendapatkan apa yang kuinginkan?

Sayang.. Aku ingin memilikimu.

Bandung memang bukan kota pertemuan kita. Tapi semua jejak langkahku di kota ini selalu mengingatkanku padamu. Bandung memang bukan tempat kita berjalan bersama. Tapi semua asaku di kota ini selalu mengarahkanku padamu. Bandung memang bukan tempat kita bercanda, memadu kasih atau melakukan hal romantis lainnya. Tapi di kota inilah keinginanku untuk bersamamu bertumbuh semakin kuat.

Bandung dan segala kenanganku di sini adalah tentangmu. Aidenku.

Karena di setiap langkah, nafas, dan gerak, membuatku lebih memikirkanmu, membuatku lebih yakin terhadapmu, membuatku lebih memahami hatiku.


E N D 



[ E N D ] Bandung dan Kenanganku TentangmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang