Tangisku reda. Isakku yang tak bersuara juga sudah lenyap. Sambil menunduk malu, aku berjalan kembali ke tempatku.
Melihatku datang, Willdan langsung tersenyum. Dan saat aku sampai di dekatnya, dia meraih tanganku dan menarikku agar duduk di kursi sebelahnya.
"Udah nangisnya?" tanyanya dengan nada yang terdengar menjengkelkan di telingaku. Aku hanya mencebikan bibir dan dia justru tertawa pelan.
"Gimana? Suaraku bagus kan?" tanyanya lagi.
"Engga juga." Jawabku singkat dan agak ketus.
Willdan cuma tertawa dan dia mengusap pelan rambutku. "Aissh, ngeselin banget ya kamu itu. Yang begini koq ya jatuh hati sama yang kolerik kayak dia."
"Apa hubungannya." Gumamku lagi.
Dia cuma tersenyum.
"Cha.."
"Hm?"
"Inget ya, kamu itu penting buat orang-orang di sekitar kamu. Jangan pernah anggep diri kamu ga penting cuma karena dia ga anggep kamu penting. Kamu itu penting buat aku."
Aku hanya menatapnya. Tidak tau harus bicara apa.
"Dunia kamu itu bukan cuma dia. Ada banyak orang-orang yang sayang dan peduli sama kamu."
Aku mengangguk patuh.
Dia benar. Semua yang dia katakan benar.
"Aku ga larang kamu deket sama dia. Itu urusan kamu. Tapi kalau dia nyakitin kamu, itu bakal jadi urusan aku. Dan itu berlaku buat semua orang. Bukan cuma buat dia. Alesan kenapa aku ga suka sama dia, ya jelas karena gara-gara dia kamu jadi banyak nangis, terlalu banyak kerja dan kurang istirahat. Cuma buat ngalihin pikiran. Iya kan?"
Aku menatapnya sekilas kemudian menunduk.
Willdan menghela napas panjang. Melihatku terdiam, dia sengaja tidak melanjutkan.
Kami melanjutkan makan dengan tenang dan hanya sesekali membicarakan hal-hal ringan seputar pekerjaan.
16.10
Aku berjalan pelan di trotoar dan Willdan mengimbangi langkahku tanpa banyak protes.
"Ga mau naik grab aja?" tanyaku sambil melirik ke arahnya.
"Ngapain. Deket." Katanya tanpa menoleh ke arahku.
"Masa sih deket? Jauh Will. Ini arahnya kemana lagi jalannya." Gumamku menggerutu.
"Deket cantik. Ini tinggal lurus, nyebrang jalan, terus belok kanan, itu udah daerah Linggawastu. Hotel Callifornianya udah keliatan tuh." Katanya lagi.
"Panas." Kataku lagi.
"Astaga ini bocah. Manja amat ya. Kamu kalau jalan sama cowok kamu begini juga tingkahnya?"
Aku menggeleng.
Willdan tertawa pelan. "Mana berani ya kamu ngeluh di depan dia. Kamu kan jaim kalau sama dia. Sok dewasa, sok kuat, ngalah aja terus."
"Kamu itu, sok tau."
Dia tertawa lagi. "Ih emang bener kan? Kamu itu belum bisa sepenuhnya terbuka dan jadi diri kamu kalau kamu lagi sama dia."
"Sok tau." gumamku lagi.
"Emang tau. Emang bener. Ga mau ngaku."
Aku tidak menjawabnya lagi. Sekarang kami sudah sampai di persimpangan jalan dan bersiap menyebrang. Willdan menggandeng tanganku dan kami menyebrang dengan sedikit buru-buru karena lampu tanda penyebrangan sudah berkedip kuning.
KAMU SEDANG MEMBACA
[ E N D ] Bandung dan Kenanganku Tentangmu
RomancePertama dan terakhir kali. Waktu tidak bisa berdetak mundur. Hari itu memang tidak akan pernah terulang. Tidak akan. Tapi kenangan hari itu tidak akan pernah hilang. . Jam 20.15 Dia berdiri dan menarik tanganku. "Ayo pulang. Kamu harus udah sampe ko...