17.46
Langit sudah berubah warna, dari jingga menjadi biru tua keunguan. Hari ini sepertinya matahari terbenam lebih cepat. Ini bahkan belum jam enam, tapi suasana di sekitar kami mulai redup. Cahaya matahari sudah digantikan temaram kuning cahaya lampu yang mulai menyala di mana-mana.
Aku menyesap minumanku lalu mengeluarkan ponsel.
Aiden belum membalasku. Tapi ada beberapa chat Whatsapp dari beberapa temanku. Aku cuma membacanya sekilas tanpa membuka chat room siapapun. Aku sedang malas membalas chat.
"Kenapa? Cowok kamu ga bales ya? Jadi males balesin chat dari temen yang lain?" tanya Willdan dengan nada menyebalkannya yang akrab ditelingaku. Dia menyindirku sambil tersenyum.
Aku cuma menatapnya sinis dan dia tertawa. Kemudian dia mendekat padaku lalu berbisik di telingaku. "Dia ga akan bales. Aku barusan WA dia, bilang lagi sama kamu."
Setelah bicara begitu, cepat-cepat dia menjauh dariku. Mungkin dia takut aku menamparnya lagi. Tapi melihatku diam saja dan hanya menatapnya, dia justru tersenyum. Atau lebih tepatnya dia menahan tawa.
"Bohong. Kamu ga akan berani WA dia." kataku akhirnya.
Aiden adalah seseorang yang cukup disegani. Tidak sembarang orang bisa dekat dengannya. Jangankan perempuan, bahkan laki-laki saja merasa segan bicara padanya kalau tidak mengenalnya secara dekat.
Aku tau kalau Willdan tidak sedekat itu dengan Aiden sampai mereka bisa saling berkirim pesan secara nyaman. Mereka hanya saling kenal dan pernah bertemu satu kali untuk urusan pekerjaan.
"Dih, kamu ga percaya?"
"Engga." jawabku santai. "Mana sini hp nya."
"Ih, ngapain liat hp aku, privasi tau."
"Tuh kan, ga berani kasih liat."
Willdan tertawa. Tawa menyerah. Tebakanku benar.
"Aku foto kamu loh tadi. Bisa aja aku kirim ke dia sekarang. Kamu kira aku ga berani?" Willdan kembali tersenyum. Tapi kali ini tersenyum jahat.
Aku menatapnya sebal. Sebenarnya aku memang agak khawatir. Aiden adalah tipe pemikir. Daripada bertanya dan mendapat alasan yang tidak memuaskan, dia lebih senang memikirkan jawabannya sendiri. Aku khawatir dia berpikir macam-macam lalu salah paham.
Ah... apa sekarang aku yang meragukannya? Kurasa bukan. Kurasa ini kekhawatiranku mengenai keraguannya terhadapku. Aku jadi merasa bersalah sekarang. Entah untuk alasan apa.
Tiba-tiba Willdan menyodorkan ponselnya padaku. Di layarnya terpampang foto seorang anak laki-laki berusia sekitar tujuh tahun sedang tersenyum manis ke arah kamera. Melihat hal itu, otomatis aku ikut tersenyum.
"Ini siapa?" tanyaku sambil meraih ponselnya lalu mengamati foto itu dengan lebih seksama.
"Aku. Waktu kecil."
"Ga mirip." gumamku pelan. "Yang ini cakep, putih lagi Will."
"Itu aku tau.. waktu belum punya dosa. Masih bersih." katanya sambil tersenyum lebar.
Aku cuma bisa tertawa mendengar perkataannya. "Belum jelek, belum jadi tukang PHP."
"Aish, tukang PHP apaan, pencemaran nama baik kamu mah."
"Iya kan, buktinya kemaren ada yang nanya-nanya ke aku soal kamu karena dia tau aku kenal deket sama kamu. Padahal aku ga kenal dia. Entah gimana dia bisa dapet nomor aku."
"Ngarang kamu."
"Ih beneran. Kemaren ada acara di Jakarta kan? Dia anak Bogor." kataku sambil berusaha mencari chat dari seorang perempuan yang bernama Sayaka atau Sayana, aku lupa.
![](https://img.wattpad.com/cover/171708470-288-k671584.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
[ E N D ] Bandung dan Kenanganku Tentangmu
RomantikPertama dan terakhir kali. Waktu tidak bisa berdetak mundur. Hari itu memang tidak akan pernah terulang. Tidak akan. Tapi kenangan hari itu tidak akan pernah hilang. . Jam 20.15 Dia berdiri dan menarik tanganku. "Ayo pulang. Kamu harus udah sampe ko...