Bagian 5

303 24 0
                                    

Akhirnya sampai. 

Food court di daerah ini memang ramai setiap hari. Terutama malam minggu. Sebenarnya aku tidak suka tempat ramai, tapi ya.. sudahlah.

"Mau makan apa?" tanya Willdan sambil melihat ke arahku.

Aku cuma menggeleng.

"Ga mau makan? Atau ga tau mau makan apa?" Tanyanya dengan nada sedikit kesal.

"Belum mau makan. Beli Ice cream aja ya." kataku sambil tersenyum. Membujuk.

"Makan dulu." katanya tegas.

Aku yang kesal cuma bisa menggerutu tak jelas sambil berjalan di belakangnya. Kami terus berjalan melewati deretan kursi yang dipenuhi pasangan muda atau keluarga kecil yang sedang menikmati makanan sambil bercanda ria.

Willdan terus berjalan dan aku terus mengikutinya tanpa protes. Sesekali dia menoleh ke arahku tapi tidak bicara apapun. Sambil terus berjalan aku mengambil satu foto. Tanpa sengaja aku berhasil mengambil foto satu keluarga kecil yang memiliki anak perempuan berusia sekitar satu tahun. Kebetulan anak itu melihat ke arah kamera sambil menampakan senyum cerianya yang menggemaskan.

Aku tersenyum melihat hasilnya. Tanpa pikir panjang aku mengirimnya kepada Aiden. Sambil menulis "Kalau ke Bandung, nanti kita makan di sini ya."

Setelah mengirim pesan, aku langsung menyimpan ponselku. Aku tidak berharap Aiden segera membalas pesan itu. Aku tau ini waktu istirahatnya. Aku sudah hapal kalau dia  sering menyingkirkan ponsel saat ingin menikmati waktu istirahat.

Tak lama, aku dan Willdan sudah sampai di ujung deretan penjual  aneka makanan dan minuman yang sama sekali tidak menarik minatku.

Willdan menarik kursi untukku dan mempersilahkanku duduk.

"Suka kopi?" tanyanya singkat.

"Engga, aku mau cokelat aja. Pake es." kataku dengan nada yang masih agak kurang menyenangkan.

"Mana ada cokelat di sini." Sergah Willdan sambil menatapku sebal.

"Ada ih, itu." Kataku sambil menunjuk gambar Ice Chocolate di sebuah kedai kopi di dekat kami. 

Aku tersenyum menang saat dia tidak bisa membantah.  

"Ga usah pake es ya, coklat anget aja." katanya menawarkan hal lain.

"ga mau ih, maunya itu." Kataku bersih keras.

"Ngeyel."

"Biarin." Dengan kekanakannya aku menjulurkan lidah.

Tak disangka pelayan kedai kopi itu ikut tersenyum lebar saat melihat kami.

"Kang, pesen kopi satu, gulanya di pisah, sama itu katanya yang kayak di gambar. Pesen itu juga satu. Es batunya jangan banyak-banyak ya." 

"Ada lagi?" tanya pelayan itu dengan sopan masih sambil tersenyum.

"Udah kang itu dulu aja. Susah makan dia mah."

Pelayan itu tertawa pelan. "Pacarnya cantik kang." kata pelayan itu sambil menulis pesanan. Aku tersenyum mendengarnya.

"Pacar apaan, adek itu kang." Kata Willdan dengan logat Bandungnya yang agak Batak. Khas Willdan. 

"Oh.." pelayan itu mengangguk lalu memberikan nota dan menyebutkan jumlah yang harus dibayarkan.

"Kenapa? Kami ga mirip ya? Untung bukan cewek saya. Repot amat kalau punya cewek kayak dia." kata Willdan lagi dengan suara yang aku yakin sengaja dikeras-keraskan agar aku mendengar apa yang dia katakan.  

Pelayan itu tersenyum lalu melihat ke arahku. Demi sopan santun, aku cuma bisa tersenyum lebar. 

Willdan duduk di sebelah kiriku.  Dia langsung membuka smartphonenya. Mungkin membalas pesan dari tunangannya. Aku cuma melihatnya dan tidak berkomentar apa-apa.

"Kenapa liatin aku terus? Cakep ya?" katanya tiba-tiba dengan penuh percaya diri. 

"Ih." dan cuma itu komentar yang bisa kulontarkan untuk menyatakan ketegasan saat menyangkal pernyataannya.

"Dari pada cowok kamu."

"Cakep dia kemana-mana kali."

"Iya cakep, banyak fansnya, pinter olahraga, tapi ga perhatian sama ceweknya, cuek banget, dingin banget, sampe ceweknya beku.."

"Ih sok tau."

"Suka bikin ceweknya nangis."

Mendengar itu, tanpa sadar aku langsung menampar pipinya pelan. Refleks yang bagus.

Willdan terlihat agak kaget tapi kemudian tersenyum. "Ih bener kan. Eh salah sih, bukan dia yang bikin kamu nangis. Tapi kamunya aja yang baperan, jadinya apa-apa nangis mulu."

"Ga usah sok tau deh. Ngeselin." gerutuku kesal. 

Aku kesal. Karena mungkin yang dia katakan itu semuanya benar.

Willdan tertawa. "Ih ngambek." 

Willdan mengusap puncak kepalaku lalu kembali berkomentar, "Aku udah bilang, kamu ga cocok sama dia. Walaupun waktu itu aku belum yakin kamu pacaran sama siapa. Apalagi sekarang, aku udah tau."

"Kenapa sih sok tau banget." 

"Taulah." Willdan menghembuskan napas panjang. "Kamu ga usah ngomong juga aku tau. Tapi kamu kan emang ngeyel anaknya. Aku udah bilang berapa kali, kamu itu butuh laki-laki dewasa yang bisa ladenin manjanya kamu tapi bisa ngerti pas kamu dominan. Sedangkan dia itu laki-laki dewasa yang pengen wanita dewasa. Yang sama sekali ga suka ada unsur kekanakan."

"Sok tau sok tau." kataku berusaha membantah. Tapi tidak semua ucapannya salah.

"Kamu butuh Kolerik Sanguin." katanya lagi.

"Ga butuh kuliah psikologi." 

"Ya udah. terserah kalau ga mau nurut. Kalau nangis ga usah cari aku ya."

Aku menatapnya sinis. 

"Permisi teh." Pelayan itu datang lalu meletakan pesanan kami di meja. "Silahkan" Katanya sopan sambil tersenyum.

"Makasi kang." Kata Willdan sambil membalas dengan senyumnya yang tumben terlihat tulus.

"Kalau kamu mau terus sama dia, kamu ga boleh terlalu sensitif. Orang kayak dia ga suka hal-hal begitu."

Aku diam saja. Sekilas memikirkan kata-katanya.

Aiden memang tipe dominan. Itu yang membuatku tertarik padanya. Dia dewasa dan terkendali. Tenang seperti air dalam. Diamnya menyejukan. Suaranya yang jarang terdengar justru menambah karismanya saat berbicara. Dia menyenangkan. Berpikiran terbuka dan punya pandangan hidup yang membuatku kagum.

Dan yang paling menarik adalah sikap keseharianya yang tanpa dia sadari membuatku lebih bersyukur, mencintai hidup dan kehidupan, juga membuatku lebih mendekatkan diri pada Tuhan. Dia.. apakah terlalu sempurna untukku yang masih harus banyak memperbaiki diri?

Willdan benar. Selama ini akulah yang berlebihan dalam asa. Belum bisa mengatur rasa dengan bijaksana. Berpikir terlalu jauh, berpikir terlalu dalam, untuk banyak hal yang mungkin sia-sia belaka. Seharusnya aku bisa mengendalikan diri. Seharusnya aku tau di mana batasnya dan kapan aku harus berhenti untuk sejenak mengistirahatkan hati.

Teruntuk Aidenku.

Maafkan aku dengan segala sifat kekanakankku yang mungkin membebanimu selama ini. Maafkan aku yang hanya memikirkan diriku sendiri. Maafkan aku yang hanya ingin mendominasimu tanpa peduli kalau kau juga butuh waktu untuk sejenak menepi. 

Maafkan aku yang menyulitkanmu. Maafkan aku yang terlalu ingin memilikimu.  Maafkan aku karena aku terlalu buta karenamu. 

Apa aku juga perlu minta maaf karena terlalu mengharapkanmu, sayang?


(Agak lama update... si amatir ini masih menunggu mood untuk menulis.... selamat menikmati..... jangan lupa komen, share ke temen, dan kasi bintaaangggg.. Makasi buat semua yang berkenan baca cerita ini yaaaa... ^^ semoga hari kalian selalu menyenangkaaannn..)

[ E N D ] Bandung dan Kenanganku TentangmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang