Tak lama setelah Willdan pergi untuk membayar ke kasir, makanan yang dipesan datang. Satu mangkuk soto bersantan dengan dua piring nasi. Aku cuma tersenyum sambil mengucapkan terima kasih kepada pelayan yang mengantar.
Sama sekali tidak bersemangat untuk makan.
Lima belas menit berlalu. Akhirnya Willdan datang sambil membawa dua gelas jus jeruk. Dengan gaya seperti pelayan, dia meletakan jus jeruk yang dia bawa di depanku. "Silahkan.."
"Lama banget." protesku saat dia menarik kursi di sampingku lalu duduk dengan santai.
"Antrinya panjang, cantik."
Aku cuma mengangguk sambil menyesap jus jeruk yang ternyata cukup asam.
"Ini ga pake gula?" tanyaku.
Willdan tertawa. "Emang asem banget ya?" Dia menyesap jus jeruk miliknya lalu ekspresinya berubah jadi lucu. Sekarang giliranku yang tertawa.
"Kamu bilangnya apa pas pesen ini?" tanyaku penasaran.
"Aku kan bilang, jus jeruk dua, ga usah pake susu, jangan manis-manis." jawabnya sambil sesekali menyesap jusnya sedikit-sedikit.
"Harusnya tadi bilang aja beli jus jeruk. Titik. Ga usah dikasi syarat-syarat."
Willdan melihat ke arahku. "Iya ya. Ya maksud aku kan biar ga terlalu manis, kalau kamu minum jus jeruk yang manis banget itu kan langsung batuk."
Aku tersenyum mendengar maksud baik di balik alasan yang dia kemukakan. Aku kembali menyesap jus jeruk miliku. Setelah terbiasa, rasanya jadi tidak terlalu asam. Tadi aku cuma kaget karena rasa yang didapat lidahku tidak sesuai bayanganku.
Tiba-tiba Willdan menarik gelas milikku lalu mencicipinya. "Kayaknya punya kamu ga seasem punya aku ya." Katanya kemudian.
"Kamu yang pesen, kamu juga yang kasi ke aku, mana aku tau mana yang lebih manis mana yang lebih asem." gumamku pelan.
Willdan cuma tertawa kecil. "Udahlah, ayo makan. Udah dingin sotonya."
Aku mengangguk lalu mulai menghadapi gunungan nasi di depanku. "Kebanyakan."
"Ya ampun Cha, segitu bilang banyak."
Aku melihat ke arahnya. "Kebanyakan..." kataku lagi dengan nada lebih meyakinkan.
Akhirnya sambil menghembuskan napas berat dan mendesah, dia menarik piringku lalu memindahkan setengah dari gunungan nasi itu ke piringnya.
Aku kembali tersenyum.
"Udah tuh, abisin ya."
Aku mengangguk lalu mulai makan.
Tak lama kemudian aku berbisik kepada Willdan "Mereka ga kasih sumpit ya?"
"Buat apa?' Willdan kembali berbisik padaku. Tapi belum sempat aku menjawab, Willdan sepertinya mengerti maksudku.
Dia mendekatkan mangkuk soto ke piringku, lalu dengan menggunakan sendoknya, dia mengambil beberapa potong kentang dan bihun lalu memindahkannya ke piringku.
"Makasi." Aku tersipu malu.
"Gimana kalau pergi sama dia coba, gini aja ga bisa." katanya.
"Biasanya kan disediain garpu atau sumpit." balasku mencari alasan. Aku mengambil tisu dari tasku lalu membersihkan sisa kuah soto yang sedikit mengotori meja karena proses pemindahan bihun tadi.
"Ga ada protes, ga ada alesan. Harus bisa segala hal dalam segala situasi. Dia ga suka nerima alesan kamu kan? Kalau mau terus sama dia, kamu harus serba bisa."
Aku mengangguk. Willdan menatapku lalu mendesah lagi. Dia berdiri dan menghampiri counter kedai soto. "Teh, kita ga dikasi sumpit atau garpu gitu? Tisu juga ga ada."
Kaget juga aku mendengar Willdan protes. Aku melihat ke arahnya.
Pelayan yang ditanya menatap Willdan. Dari ekspresi wajahnya, aku yakin dia merasa bingung sekaligus bersalah. "Oh, ga ada ya a? Maaf ketinggalan. Maaf. Maaf. Nanti saya anter ke meja."
"Oke makasi."
Willdan kembali ke tempat duduk dan tak lama kemudian pelayan tadi mengantarkan dua garpu dan dua pasang sumpit ke meja kami, tak lupa dia juga membawa sekotak tisu.
"Ga usah gitu juga sih." bisikku pada Willdan setelah pelayan itu pergi.
"Udah makan aja." katanya tanpa menoleh ke arahku.
Lima menit berlalu, Willdan sudah selesai makan dan aku baru menghabiskan setengah dari makananku.
"Cha, kalau aku pindah ke Medan gimana?" tiba-tiba dia menanyakan hal yang agak sedikit aneh untukku. Bukannya dia pindah ke Jawa supaya bisa jauh dari Medan?
"Kamu mau pindah ke Medan lagi?"
"Iya."
Aku tidak langsung menjawab karena sedang mengunyah makananku.
"Terserah kamu." jawabku akhirnya.
Aku tetap menekuni makananku dan tidak menoleh ke arahnya. Tapi aku bisa mendengar suara tawanya. "Yakin?"
"Yakinlah, itu kan hak kamu."
Willdan diam saja. Sampai akhirnya dia kembali bertanya.
"Cha, kalau aku belum punya tunangan, kamu mau jadi pasangan aku?"
Pertanyaan kejutan. Aku yang kaget mendengarnya, berpura-pura santai dan tidak menjawab, lalu melanjutkan makan.
"Jawab."
Aku menoleh ke arahnya. Tapi tetap tidak menjawab. Dia juga cuma menatap ke arahku. Diam. Menunggu jawabanku.
(Semoga menikmati... maaf kalau ada salah pengetikan.. Semoga berkenan membaca sampai tamaattttt... Mohon dukungannya... Selamat membacaa... Terima kasih sudah berkunjung..^^)
KAMU SEDANG MEMBACA
[ E N D ] Bandung dan Kenanganku Tentangmu
RomancePertama dan terakhir kali. Waktu tidak bisa berdetak mundur. Hari itu memang tidak akan pernah terulang. Tidak akan. Tapi kenangan hari itu tidak akan pernah hilang. . Jam 20.15 Dia berdiri dan menarik tanganku. "Ayo pulang. Kamu harus udah sampe ko...