7. Jealous

101 6 0
                                    

"Kak! Ada kak Rahman tuh di depan!" Pekik Qiila dari ruang makan.

Rahman sudah datang. Aku pun segera keluar dari kamarku.

"Yah, Bu, Vira berangkat duluan aja, ya?" Ucapku seraya mengoleskan selai kacang ke roti tawar yang hendak ku bawa untuk sarapan di jalan nanti.

"Lho, gak sarapan dulu? Rahman gak disuruh masuk dulu?"

"Nggak usah deh, Bu. Aku piket hari ini."

"Oh, gitu, ya udah."

Setelah mengoleskan selai kacang pada tiga tangkup roti, aku memasukkannya ke dalam kotak makan kecil lantas menyimpannya di dalam tas. Setelahnya, aku mencium tangan ibu dan ayah sebelum berangkat ke sekolah.

"Aku berangkat duluan, ya."

"Dada Kakak, hati-hati, ya! Bilangin Kak Rahman jangan modus ngerem mendadak gitu, hahaha."

"Apa sih anak kecil sok tau banget!"

Tak ingin Rahman menunggu lama, aku segera keluar rumah. Saat sampai di depan pintu, aku melihat Rahman yang masih terduduk di motornya sembari memainkan ponsel.

"Hai," sapaku setelah berdiri di samping motornya.

"Eh, udah? Ayo berangkat," katanya seraya memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.

Aku pun menaiki motor Rahman agar bisa segera berangkat ke sekolah. Yah, sebenarnya aku juga bingung harus senang atau bagaimana. Soalnya jarang sekali Rahman tiba-tiba seperti ini. Maksudnya, jarang sekali dia mau menjemputku untuk berangkat sekolah bersama. Sebelumnya sih, belum pernah selama SMA ini.

"Udah?" Tanyanya setelah aku duduk di jok belakang motornya.

"Iya."

Rahman pun segera menancapkan gas melesat menuju ke sekolah.

Tak ada percakapan di sepanjang perjalanan. Yang terdengar hanyalah suara riuh kendaraan di jalan serta suara semilir angin yang berhembus kencang. Aku pun tidak tahu harus membicarakan apa. Lagipula, aku rasa memang tak ada hal penting yang harus dibicarakan.

Ini bukan hal aneh bagiku. Karena selama ini, aku dan Rahman memang seperti ini. Tidak banyak hal yang bisa dibanggakan layaknya pacar orang lain yang humoris, banyak senda gurau, obrolan tidak penting namun membuat bahagia, tidak. Aku sudah terbiasa. Ralat, bukan aku, tapi kami.

Jalan-jalan berdua, kemana-mana berdua, itu bukan kami. Yang rutin hanyalah obrolan via chat saja. Itupun sekarang sudah jarang. Sejak dulu aku tahu, Rahman cenderung orang yang pendiam. Kesan manis yang tercipta hanyalah saat masa-masa pendekatan. Setelah jadian, ya begitulah. Aku pun tak tahu, apa yang bisa membuat kami bertahan selama hampir satu tahun ini.

"Semalem kenapa chat aku diread doang?" Tanyanya setelah kami hampir sampai di sekolah.

"Itu.. semalem aku bacanya pas mau tidur. Waktu mau bales, malah ketiduran. Maaf, ya, hehe."

Maafkan aku Ya Tuhan, pagi-pagi sudah berbohong. Semalam itu aku malas membalasnya, bukan karena ketiduran.

"Ooh."

Platonic Love [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang